BAB II KEDUDUKAN JAKSA DALAM UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI (HERZEINING)
2.1. Pengertian Upaya Hukum
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pasal 1 angka 12 menyatakan bahwa upaya hukum adalah terdakwa atau Penuntut Umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali dalam hal serta menurut cara yang di atur dalam Undang-Undang ini. Selanjutnya menurut Osman Simanjuntak menyatakan bahwa :
“Upaya hukum adalah suatu tindakan atau suatu usaha baik dari terdakwa,maupun Jaksa Penuntut Umum atau pihak ketiga untuk memperoleh hak-haknya kepada pejabat berdasarkan Undang-Undang yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam usaha mencari kepastian hukum yang mengandung keadilan dan kebenaran”.
Upaya hukum adalah alat untuk memberikan hak terdakwa untuk mencari keadilan melalui kepastian hukum yang sesuai dengan Undang-Undang agar dalam hal pemberian keputusan tidak ada penyimpangan terhadap penerapan hukum yang ada. Selain itu, oleh Mangasa Sidabutar dalam bukunya “Hak terdakwa terpidana Penuntut Umum menempuh upaya hukum” menyebutkan bahwa cakupan upaya hukum menunjuk pada adanya : a. Obyek upaya hukum adalah putusan pengadilan
b. Pemohon upaya hukum yaitu terdakwa,terpidana atau Penuntut Umum
c. Jenis upaya hukum yaitu berupa perlawanan, banding,kasasi dan peninjauan kembali
Upaya hukum berdasarkan KUHAP terdiri dari upaya hukum bisaa dan upaya hukum luar bisaa. Upaya hukum bisaa terdiri dari pemeriksaan tingkat banding dan pemeriksaan tingkat kasasi, dan upaya ukum luar bisaa yang terdiri dari pemeriksaan tingkat kasasi demi kepentingan hukum dan pemeriksaan tingkat Peninjauan Kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Adapun pengaturannya dalam KUHAP dapat di jabarkan sebagai berikut:
a. Upaya Hukum Bisaa di atur dalam BAB XVII pasal 233 sampai 258
b. Upaya Hukum Luar Bisaa di atur dalam BAB XVIII pasal 259 sampai 269.
Upaya hukum bisaa terdiri dari atas 2 tingkatan pemeriksaan yaitu :
1. Pemeriksaan Tingkat Banding (pasal 233 sampai pasal 234 )
Apabila terdakwa atau Penuntut Umum ada yang merasa salah menyangkut kurang tepatnya penerapan hukum dan dalam putusan pengadilan maka terdakwa dan Penuntut Umum berhak untuk meminta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas.
Untuk permintaan banding ini dapat di ajukan dalam waktu ke pengadilan negeri setelah sesudah putusan di jatuhkan dan apabila di terima oleh pengadilan negeri panitera akan memberitahukan permintaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 14 hari sejak pengajuan banding oleh terdakwa mengirimkan salinan putusan pengadilan negeri kepada pengadilan tinggi berupa berkas perkara dan surat bukti dan selama pengadilan tinggi belum memeriksanya maka terdakwa maupun Penuntut Umum dapat menyertakan memori banding kepada Pengadilan Tinggi tesebut.
Dalam pemeriksaan banding, pemeriksaan keseluruhan yang ada di pengadilan negeri di ulang kembali baik mengenai dakwaanya, alat bukti pertimbangan hukum serta berita acara persidangan. Menurut Osman Simanjuntak menyatakan :
“Banding merupakan yudicium Novum jika di pandang perlu pengadilan tinggi mendengar dendiri keterangan terdakwa atau saksi tentang apa yang di ketahui oleh pengadilan tinggi. Sehubungan dengan itu tidak tertutup kemungkinan pada peradilan tingkat ulang untuk di majukan saksi,keterangan atau alasan yang baru"
Hal ini merupakan tugas dari pengadilan tinggi untuk memeriksa secara jelas mengenai perkara dalam permintaan banding agar nantinya bersesuaian dengan penerapan hukum yang ada. Dan pada perinsipnya banding diperiksa oleh Pengadilan Tinggi dapat membatalkan penetapan yang ada dalam pengadilan negeri yang asalkan tidak mengandung pembebasan atau lepas dari segala tuntutan dan tidak dalam pemeriksaan acara cepat.
2. Pemeriksaan tingkat kasasi ( pasal 244 sampai 258)
Kasasi berasal dari bahasa perancis yaitu cassation yang berasal dari kata kerja “ casser”, yang berarti “ membatalkan “ atau “ memecahkan”. Hal ini senada dengan kamus besar Indonesia yang berarti pembatalan atau pernyataan tidak sah oleh Mahkamah Agung tehadap Putusan Hakim karena putusan itu menyalahi atau tidak sesuai dengan Undang-Undang. Dari pengertian di atas, apabila kita hubungkan dengan ketentuan pasal 253 ayat (1) dapat dikemukakan bahwa upaya hukum kasasi dalah hak terdakwa atau penutut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan pada tingkat terakhir, dengan cara mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung guna membatalkan putusan pengadilan dengan alasan bahwa putusan yang dimintakan kasasi tersebut, peraturan tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya, mengadili tidak dilaksanakan menurut Undang-Undang pengadilan telah melampaui batas wewenangnya. Dari keterangan di atas dapat dilihat bahwa kasasi bertujuan untuk adanya kepastian hukum dan agar sesuai dengan pandangan dan perkembangan masyarakat. Menurut Harun M. Husein , tujuan dan fungsi kasasi adalah :
a. Koreksi atas kesalahan atau kekeliruan putusan pengadilan bawahan.
b. Memperbaiki kesalahan pengadilan bawahan yang berupa tindakan yang melampaui batas wewenangnya.
c. Menciptakan dan membentuk hukum baru.
d. Terciptanya keseragaman penerapan hukum.
Melalui koreksi atas putusan pengadilan bawahan bertujuan untuk meluruskan kesalahan atas kekeliruan penerapan hukum, pengadilan dalam melaksanakan tugas mengadili harus di sesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang, dalam menciptakah hukum baru dalam praktek hukum agar untuk mengisi kekosongan hukum yag menghambat jalannya peradilan dan dalam rangka mensejajarkan makna dan jiwa ketentuan Undang-Undang sesuai dengan pertumbuhan kebutuhan lajunya perkembangan nilai dan kesadaran masyarakat.
Mengenai tata cara pengajuan kasasi, permintaan kasasi dapat di ajukan oleh terdakwa atau Penuntut Umum kepada Mahkamah Agung yang di sampaikan kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama dan akan di buat dalam surat keterangan yang di sebut akta permintaan kasasi dan pengajuan kasasi hanya dapat di lakukan 1 kali saja. Adapun yang menjadi alasan di ajukannya kasasi oleh terdakwa kepada Mahkamah Agung berdasarkan pasal 253 ayat (1) :
a. Apakah benar suatu peraturan hukum tidak di terapkan atau di terapkan sebagaimana mestinya.
b. Apakah benar cara mengadili tidak di laksanakan menurut ketentuan Undang- Undang.
c. Apakah benar pengadilan telah melampui batas wewenangnya.
Alasan di atas sifatnya limitatife karena pemohon kasasi tidak dapat mempergunakan alasan lain selain daripada yang di tetapkan oleh Undang-Undang yang berarti sekaligus membatasi wewenang Mahkamah Agung memasuki perkara dalam tingkat kasasi.
Upaya hukum luar bisaa terdiri atas 2 pemeriksaan yaitu :
1. Pemeriksaan Kasasi Demi Kepentingan Hukum
Upaya hukum ini termasuk hukum luar bisaa karena memiliki corak yang khusus yang membedakannya dengan kasasi bisaa. Adapun corak khusus tersebut adalah :
a. Kasasi demi kepentingan hukum di ajukan atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
b. Permohonan kasasi demi kepentingan hukum merupakan wewenang Jaksa Agung.
c. Putusan demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan
d. Pertimbangan adanya kasasi demi kepentingan hukum ini karena adanya suatu kekeliruan atau kesalahan penerapan hukum yang sebelum putusan pengadilan yang bersangkutan berkekuatan hukum, tidak di ketahui.
Untuk alasan-alasan adanya kasasi demi kepentingan hukum ini dapat di katakan tidak limitatif karena dapat juga di sertai dengan alasan lainnya. Seperti halnya yang di kemukakan oleh M.Yahya Harahap bahwa :
“Kalau kita bertitik tolak dari kata kepentingan hukum berarti tidak hanya sebatas ada kesalahan yang di sebutkan dalam pasal 253 ayat (1) KUHAP, bahkan meliputi segala segi yang menyangkut pemidanaan, barang bukti, biaya perkara, penilaian pembuktian dan sebagainya”.
Mengenai tata cara pengajuan kasasi demi kepentingan hukum dalam hal penyampaian risalah kasasinya tidak di tentukan tenggang waktunya seperti halnya kasasi bisaa. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pasal 260 permohonan kasasi harus di ajukan secara tertulis oleh Jaksa Agung kepada Mahkamah Agung melalui panitera pengadilan yang memutus perkara dalam tingkat pertama. Hal ini berarti bahwa Jaksa Agung tidak perlu bertemu dengan panitera pengadilan, cukup bila permintaan kasasi beserta risalahnya di kirimkan melalui panitera pengadilan yang bersangkutan. Kemudian risalah demi kepentingan hukum oleh panitera segera di sampaikan kepada pihak yang berkepentingan yang selanjutnya akan di kirimkam kepada Mahkamah Agung untuk di periksa.
Adapun yang menjadi maksud dan tujuan kasasi demi kepentingan hukum menurut Harun M. Husein adalah :
“Tidak terlepas dari maksud dan tujuan penggunaan upaya hukum bisaa, kasasi demi kepentingan hukum tujuannya adalah sama yaitu meminta agar Mahkamah Agung meluruskan kekeliruan dalam putusan yang di mintakan kasasi”.
Kasasi demi kepentingan hukum ingin terciptanya suatu kesatuan hukum yang nantinya dapat di pakai kembali apabila ada persoalan hukum yang sama sehingga tidak perlu adanya penemuan hukum dan memberikan dorongan kepada para hakim supaya dalam pengambilan keputusan memberikan tauladan kepada para hakim yang akan datang dalam pengambilan keputusan.
2. Pemeriksaan Tingkat Peninjauan Kembali.
Peninjauan Kembali merupakan suatu upaya hukum yang di gunakan untuk memperoleh penarikan kembali atau perubahan terhadap putusan hakim yang pada umumnya tidak dapat di ganggu gugat lagi. Dalam sistem peradilan Indonesia kasus yang berakhir dengan putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap tidak dapat di perkarakan lagi. Hal ini menandakan adanya kepastian hukum sebagai suatu kekuatan sistem hukum yang melindungi berdasarkan keadilan.
Apabila tidak terjadi keadilan berarti mempertahankan suatu putusan yang tidak adil adalah bertentangan dengan syarat bagi hukum dan juga merupakan bukan tuntutan kepastian hukum. Oleh karena itu perlu adanya upaya atau sarana untuk memperbaiki adanya kekhilafan dalam mengambil suatu putusan yang di sertai dengan syarat-syarat yang ketat pada tentunya.
Demi tegaknya suatu keadilan keputusan yang memiliki kekuatan hukum yang tetap perlu adanya suatu upaya yang sifatnya luar bisaa dan istemewa, dan letak keistemawaanya itu terletak pada bisanya membatalkan keputusan hakim yang memiliki kekuatan hukum yang tetap.
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pasal 263 ayat (1) menyatakan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari tuntutan, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan Peninjaun Kembali kepada Mahkamah Agung. Dengan adanya penetapan Peninjauan Kembali dalam KUHAP ini berarti hukum memberikan suatu pilihan alternative (alternative choice) untuk adanya penegakan hukum demi tercapainya suatu kesatuan hukum yang berdasarkan pada keinginan dan hati nurani rakyat dalam mencari keadilan.
Terkait dengan proses pemeriksaan tingkat Peninjauan Kembali maka perlu di perhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Yang berhak mengajukan permintaan Peninjauan Kembali
Adapun yang berhak untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap adalah terpidana atau ahli warisnya.
b. Dasar alasan dalam permohonan Peninjauan Kembali
- Yang dapat di mintakan Peninjauan Kembali ini adalah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Namun apabila putusan itu berupa putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum tidak dapat di ajukan Pennjauan Kembali.
- Alasan di ajukannya Peninjauan Kembali adalah adanya keadaan baru yang dapat menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah di ketahui pada waktu sidang masih berlangsung hasilnya akan berupa putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan atau tuntutan Penuntut Umum tidak dapat di terima atau terhadap perkara itu di terapkan ketentuan pidana yang lebih ringan, dasar alasan dalam putusan saling bertentangan satu dengan yang lainnya, serta adanya kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata dan terbukti tanpa adanya pemidanaan.
Perlu di perhatikan di sini bahwa permintaan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut dalam tingkat peradilan tingkat pertama dan permintaan Peninjauan Kembali hanya dapat di lakukan 1 kali saja. Ketentuan-ketentuan mengenai Peninjauan Kembali dalam KUHAP menurut H.M.A.Kuffal mengandung beberapa kelemahan yaitu sebagai berikut :
a. Di dalam KUHAP tidak terdapat ketentuan yang mengatur mengenai tata cara permintaan Peninjauan Kembali yang di lakukan oleh Jaksa.
b. KUHAP tidak mengatur mengenai akibat hukum apabila pemohon Peninjaun Kembali melanggar ketentuan yang di atur dalam pasal 265 ayat (2) dan ayat (3) yaitu terpidana atau pemohon Peninjauan Kembali tidak menghadiri pemeriksaan sidang Pengadilan Negeri untuk memeriksa permintaan Peninjauan Kembali, karena pada waktu di lakukan eksekusi terhadap putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap ternyata terrpidana atau pemohon Peninjauan Kembali telah melarikan diri dan menjadi buronan.
c. Dalam KUHAP tidak terdapat ketentuan yang mengatur mengenai tindakan hukum yang harus di lakukan oleh Mahkamah Agung selaku pengadilan negara tertinggi apabila terjadi Majelis Hakim Agung yang memeriksa atau mengadili perkara Peninjauan Kembali melakukan pelanggaran terhadap KUHAP yang mengatur tentang persyaratan dan tata cara pengajuan Peninjauan Kembali yang di jatuhkan Majelis Hakim Agung menjadi putusan yang cacat hukum atau batal demi hukum.
2.2. Kedudukan Jaksa Dalam Pengajuan Peninjauan Kembali
Jaksa pejabat negara yang mengurus peradilan demi tegaknya keadilan memiliki kewenangan yang luas dalam proses peradilan dari penyelidikan, penyidikan sampai penuntutan. Dalam kewenangannya itu adalah untuk memberikan pertanggungj awaban hukum dalam menegakkan keadilan dan kepentingan umum.
Di dalam Undang-Undang Kejaksaan Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan, Jaksa memiliki suatu kekuatan hukum untuk menindak lanjuti suatu perkara yang di anggap belum memenuhi keadilan demi tegaknya suatu negara hukum yang melindungi masyarakatnya sebagai perwujudan dari kehendak Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila.
Peninjauan Kembali adalah suatu proses untuk mencari keadilan dalam rangka adanya ketidak puasan terhadap putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 263 ayat (1) hak untuk pengajuan upaya hukum Peninjauan Kembali ini secara letter lex adalah terdakwa atau ahli warisnya. Namun, apabila melihat dari perkembangan hukum Jaksa sebagai penegak hukum melakukan penerobosan hukum dalam hal ini ikut berpartisipasi dalam ranah hukum Peninjauan Kembali mengajukan upaya hukum Peninjauan kembali berdasarkan alasan untuk tegaknya keadilan dalam suatu keputusan hakim yang di anggap belum memenuhi kehendak hukum.
Namun, sebelum adanya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ada suatu Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1980 yang dalam pasal 3 yaitu adanya kuasa khusus yang di interprestasikan adalah Jaksa sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk memenuhi kepentingan-kepentingan terpidana dalam ketidak puasannya dalam suatu putusan hakim yang di anggap tidak memenuhi keadilan bagi perkara terpidana. Hal ini menandakan bahwa dalam proses pengajuan upaya hukum Peninjauan Kembali Jaksa memiliki suatu kewenangan untuk melindungi kepentingan umum apabila terjadi suatu kekeliruan dalam suatu putusan hakim.
Selain itu, kedudukan Jaksa untuk dapat mengajukan Peninjauan Kembali di perkuat dengan adanya Yurisprudiensi Nomor 55 PK/Pid/1996 yang telah mengabulkan permohonan Jaksa untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali atas kasus Mochtar Pakpahan. Walaupun Yurisprudiensi ini tidak tunduk kepada peraturan umum yang berlaku yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana namun dengan terbitnya Yurisprudiensi ini memberikan dasar kepada para hakim sebagai kerangka berpikir dalam permohonan Peninjaun Kembali.
Di dalam Undang-Undang No 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, mengenai Peninjauan Kembali ini di atur dalam pasal 23 yang menyatakan apabila terdapat hal-hal atau keadaan yang di tentukan dengan Undang-Undang terhadap putusan yang telah memperoleh putusan hakim tetap dapat dimintakan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak yang berkepentingan. Hal ini dikarenakan Jaksa merupakan salah satu pihak yang berkepentingan, yaitu berkepentingan untuk mencari keadilan sebagai perwakilan bagi negara. Jadi, kedudukan Jaksa di dalam Undang-Undang ini adalah apabila adanya novum maka jaksa mempunyai wewenang untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali terlebih dengan adanya kewenangan khusus untuk mengefektifkan proses penegakan hukum yang di berikan Undang-Undang, dan mengesampingkan perkara demi kepentingan umum
2.3. Dasar Hukum Peninjauan Kembali
Peninjauan Kembali adalah dalam rangka untuk mewujudkan adanya keadilan bagi terpidana terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap karena di anggap putusan itu memiliki kesalahan dan penerapan yang kurang baik dalam bagian perwujudan hukumnya maupun proses hukumnya di peradilan.
Berkaitan dengan keadilan bagi terpidana berarti mengacu pada hak-hak asasi manusia,dan dalam Undang-Undang dasar 1945 sangat jelas di terangkan mengenai hal tersebut. Dalam perwujudannya sebagai landasan negara Undang-Undang Dasar memberikan hak bagi warga negaranya untuk memperoleh keadilan yang seadil-adilnya melalui proses hukum yang berlaku tanpa memandang siapa yang meminta adanya penegakan keadilan.
Hal ini dapat di lihat dalam pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa adanya persamaan kedudukan dalam hukum tanpa adanya pembedaan pemberlakuan.Pasal ini memberikan hak kepada terpidana untuk mencari keadilan melalui hukum yaitu dengan proses Peninjauan Kembali untuk dapat membatalkan putusan hakim yang di nilai tidak sesuai dengan penerapan hukum.
Sebagai lanjutan dari Undang-Undang Dasar 1945 ini, Kitab Hukum Acara Pidana memberikan bab tersendiri mengenai pengaturan Peninjaun Kembali ini yaitu dengan memberikan perlindungan hukum hak asasi manusia dalam hal ini adalah terpidana untuk dapat menolak atau tidak menerima putusan hakim sebagai rasa tidak kepuasan atas keputusan itu, KUHAP memberikan kesempatan kepada terpidana dalam pasal 263 ayat (1) untuk dapat mengajukan Peninjauan Kembali terhadap putusan hakim yang tetap demi tercapainya penegakan hukum yang memiliki kepastian hukum yang kuat.
Selain daripada itu, Peninjauan Kembali juga di atur dalam Peraturan Mahkamah Agung No 1 tahun 1980 yaitu Peraturan Mahkamah Agung ke seluruh jajaran peradilan tertentu yang isinya merupakan ketentuan hukum beracara guna penyelenggaran terhadap peradilan yang belum terdapat peraturannya untuk mengisi kekosongan hukum memberikan kesempatan kepada terpidana untuk mendapatkan keadilan terhadap putusan hakim yang tetap. Dengan alasan yang sama seperti yang di kemukakan oleh pasal 263 ayat (2) Mahkamah Agung dapat meninjau kembali terhadap perkara tersebut dengan alasan yang jelas dalam pengajuan upaya hukum Peninjauan Kembali.
Ada hal yang khusus dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) ini yaitu adanya kesempatan bagi Jaksa selaku aparat hukum untuk dapat mengajukan Peninjauan Kembali sebagaimana yang tertera dalam pasal 3 yaitu adanya kuasa khusus yang di interprestasikan adalah Jaksa sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk memenuhi kepentingan-kepentingan terpidana dalam ketidak puasannya dalam suatu putusan hakim yang di anggap tidak memenuhi keadilan bagi perkara terpidana.
Di dalam Undang-Undang No 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, mengenai Peninjauan Kembali ini di atur dalam pasal 23 yang menyatakan apabila terdapat hal-hal atau keadaan yang di tentukan dengan Undang-Undang terhadap putusan yang telah memperoleh putusan hakim tetap dapat dimintakan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung dalam perkara perdana dan pidan oleh pihak yang berkepentingan. Antara Undang-Undang ini dengan PERMA No 1 tahun 1980 ada memiliki persamaan yang sudah beberapa kali di interprestasikan adanya Jaksa sebagai salah satu yang di bolehkan dalam pengajuan Peninjauan Kembali, dan sering menimbulkan hal-hal yang sifatnya membuat rancu hukum terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai peraturan umum yang secara tegas hanya memberi hak kepada terpidana dan ahli warisnya dalam pengajuan Peninjauan Kembali, sehinga asas lex stricta tidak berlaku lagi dalam penerapan hukum.
Dengan perkembangan hukum, Yurisprudensi merupakan salah satu penciptaan hukum dalam proses beracara Peninjauan Kembali, yaitu mengacu pada Yurisprudensi No 55 PK/Pid/1996 walaupun yurisprudensi ini tidak menundukkan diri kepada peraturan umum yang berlaku yaitu KUHAP namun sebagai salah satu sumber hukum merupakan suatu dasar bagi para hakim untuk menjadikannya sebagai kerangka berpikir dalam permohonan Peninjauan Kembali karena menurut A.Kamil dan M.Fauzan memandang bahwa ”Bobot Yurisprudensi lebih potensial menegakkan kelayakan dan perlidungan kepentingan umum, dibanding dengan suatu ketentuan pasal undang-undang”.
A. Kamil dan M. Fauzan menyatakan apabila ada suatu perkara yang di nilai yurisprudensi lebih bisa menegakkan keadilan dan perlidungan hukum, Undang-Undang di suruh mundur secara penuh mengenai pasal yang bersangkutan (contra legem). Kemudian pendapat tersebut lebih diperlunak oleh Paulus yang menyatakan bahwa:
a. Tetap mempertahankan nilai hukum yang terkandung dalam Yurisprudensi
b. Berbarengan dengan itu, ketentuan pasal undang-undang yang bersangkutan di perlunak dari sifat imperatif menjadi Fakultatif.
Dari kedua pendapat tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa keberadaan suatu yurispuriensi yang merupakan salah satu sumber hukum merupakan hal yang tidak dapat dikesampingkan terlebih walaupun terdapat suatu aturan hukum yang secara substansinya bertentangan dengan Yurisprudiensi tersebut dengan syarat yurispudiensi itu lebih mengutamakan kepentingan yang bersifat umum demi terciptanya keadilan masyarakat.
2.4. Proses Pengajuan Upaya Hukum Peninjauan Kembali
Permintaan Peninjauan Kembali di ajukan oleh terpidana atau ahli warisnya kepada panitera yang memutus perkaranya dalam tingkat pertama dengan menyebutkan secara jelas alasannya dan apabila ada hal pemohon yang kurang memahami hukum maka panitera wajib untuk menanyakan alasan pemohon dalam mengajukan Peninjuan Kembali. Permintaan Peninjauan Kembali tidak di batasi dengan jangka waktu tertentu agar jangka untuk mempelajari perkara ditingkat pertama dapat lebih jelas di pelajari oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Setelah permohonan Peninjauan Kembali di terima, Ketua Pengadilan Negeri menunjuk hakim yang tidak memeriksa perkara semula untuk memeriksa apakah alasan pemohon untuk mengajukan Peninjauan Kembali sesuai dengan persyaratan yang berlaku dalam paal 263 ayat (2) KUHAP. Dan setelah itu hakim menetapkan hari pemeriksaan permintaan Peninjauan Kembali serta memerintahkan Jaksa untuk memanggil saksi-saksi yang ada.
Dalam pemeriksaan di persidangan yang tersusun atas hakim yang memimpin sidang, Jaksa dan Panitera, persidangan di buka untuk umum kecuali bila ada Undang-Undang yang menentukan sebaliknya. Dalam pemeriksaan yang mendahului pemeriksaan di Mahkamah Agung meneliti mengenai persyaratan pengajuan Peninjauan Kembali di penuhi, yaitu :
a. Apakah putusan yang terhadapnya di ajukan Peninjauan Kembali telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan mengandung pemidanaan.
b. Apakah pemohon adalah terpidana atau wakilnya berdasarkan surat khusus untuk itu, atau jika terpidana telah meninggal dunia apakah pemohon adalah ahli warisnya atau kuasanya dengan surat kuasa khusus.
c. Apakah alasan dalam mengajukan permohonan Peninjauan Kembali sesuai dengan pasal 263 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP, yaitu :
- Novum
- Pertentangan peradilan
- Kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata
- Pernyataan terbuktinya perbuatan yang di dakwakan tanpa di ikuti oleh pemidanaan.
Apabila semua persyaratan telah terpenuhi maka permohonan Peninjauan Kembali secara formal telah di terima oleh hakim dan hakim akan memeriksa materi perkara sebagaimana yang di kemukakan oleh pemohon. Ketua pengadilan segera melanjutkan permintaan Peninjauan Kembali yang di lampiri berkas pertama, berita acara pemeriksaan, dan berita acara pendapat kepada Mahkamah Agung yang tembusannya di sampaikan kepada pemohon dan Jaksa.
Dalam perkara yang di mintakan Peninjauan Kembali adalah putusan pengadilan banding, maka tembusan surat pengantar tersebut harus di lampiri tembusan berita acara pemeriksaan serta berita acara pendapat dan di sampaikan kepada pengadilan yang bersangkutan.
Setelah berkas sampai kepada Mahkamah Agung dan di berikan registrasi, maka oleh ketua Mahkamah Agung ditunjuk majelis hakim termasuk ketua majelis untuk mengadakan rapat musyarawarah untuk mengambil keputusan. Keputusan yang di ambil dalam musyawarah majelis keputusan Mahkamah Agung yang nantinya akan di ucapkan di muka umum atas perkara Peninjauan Kembali yang di mintakan oleh terpidana atau ahli warisnya.
2.5. Tugas dan Wewenang Jaksa
Istilah Jaksa berasal dari kata dhyaksa yang lahir dari masa jaman majapahit pada masa raja Hayam Wuruk. Dhyaksa ini adalah pejabat negara yang mengurus peradilan dan kedudukannya berada langsung di bawah raja Hayam Wuruk. Selain dhyaksa pada masa itu di kenal juga dharmadhyaksa yaitu pejabat tinggi yang bertugas menjalankan yuridiksi keagamaan, dan keberadaan dharmadhyaksa ini sebagai pengemban rohani di perlukan pertimbangan oleh para dhyaksa sebagai penegakan hukum. Seperti halnya yang di kemukakan oleh Djoko Prokoso yang menyatakan bahwa ”Jaksa mempunyai sifat sebagai wakil pemerintah dalam penegakan hukum”.
Kejaksaan sebagai salah satu penegak hukum di tuntut untuk lebih berperan dalam perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, supremasi hukum. Dan hal ini lah yang mendorong bagi pemerintah untuk membenahi dan menata kembali agar terwujudnya kedudukan dan peranan yang mampu untuk mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan kebenaran berdasarkan hukum yang berlaku.
Dari uraian di atas, sangat jelas bahwa kejaksaan mempunyai peranan yang penting dalam proses menggali nilai-nilai kemanusiaan yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu, sangat lah wajar apabila saat adanya rezim baru berkuasa lembaga kejaksaan melalui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Kejaksaan di berikan kekuasaan yang besar. Bukan cuma berfungsi sebagai Penuntut Umum di pengadilan, tetapi juga melakukan penyelidikan dan penyidikan, tidak semata mengurus tindak pidana bisaa dan khusus namun juga kasus subversif.
Dengan besarnya kekuasaan ini ternyata di mamfaatkan pemerintah untuk memenuhi keinginannya dalam berkuasa, seperti yang di kemukakan oleh Wawan Tunggul Alam yang menyatakan bahwa :
”Dengan adanya kekuasaan kejaksaan,menjadikan lembaga ini di mamfaatkan oleh penguasa untuk membesarkan dan menguatkan kekuasaannya, termasuk melidungi kepentingannya”.
Hal ini berarti bertentangan dengan Undang-Undang No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan pasal 8 ayat (2) yang menegaskan bahwa dalam melakukan penuntutan Jaksa bertindak untuk dan atas nama negara, dan pasal ini di interprestasikan sebagai kepentingan pemerintah. Pada hal kepentingan pemeritah berbeda dengan kepentingan negara, karena kepentingan pemerintah terkadang di pengaruhi oleh golongan yang berkuasa.
Harus di akui, pemisahan ini sangat sulit untuk di lakukan mengingat Jaksa Agung di angkat dan di berhentikan oleh pemerintah dalam hal ini adalah Presiden, sehingga dalam prakteknya fungsi dan tugasnya Jaksa tidak lagi sebatas melaksanakan kegiatan penegakan hukum guna meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat.
Namun sebagai aparat hukum, lembaga kejaksaan memiliki pertanggungjawaban dengan segala sesuatu yang bertentangan dengan janji atau sumpahnya sebelum memangku jabatannya sebagai Jaksa. Mengenai sumpah atau janji ini terdapat dalam pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Kejaksaan sebagai simbol bahwa kejaksaan merupakan lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara secara profesional dan bertanggung jawab sepenuhnya dengan Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, bangsa, dan negara.
Adapun untuk melaksanakan hal tersebut di atas Jaksa di beri tugas dan wewenang yang berdasarkan pasal 30 Undang-Undang Kejaksaan No 4 tahun 2004 adalah sebagai berikut :
a. Di bidang Pidana, kejaksaan memiliki tugas dan wewenang untuk melakukan penuntutan di mana Jaksa bisa melakukan pratuntutan memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan di mulainya penyidikan dari penyidik. Melakukan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum dengan memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu, serta melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat di lakukan pemeriksaan tambahan sebelum di limpahkan kepada pengadilan.
b. Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan memiliki kekuasaan khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara.
c. Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan bertugas untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat, pengamanan kebijakan penegakan hukum,pengawasan peredaran barang cetakan, mengawasi adanya aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat, serta penelitian dan pengembangan hukum serta statistik hukum.
Selain tugas dan wewenang di atas yang mengatur secara umum, Jaksa juga memiliki tugas dan wewenang khusus menetapkan kebijakan penegakan hukum dan keadilan, mengepektifkan proses penegakan hukum yang di berikan Undang-Undang, mengesampingkan perkara demi kepentingan umum, mengajukan kasasi demi kepentingan umum kepada Mahkamah agung, serta mencegah atau menangkap orang tertentu untuk masuk dan keluar wilayah negara Republik Indonesia. Mengenai fungsi keJaksaaan menurut Ilham Gunawan menyatakan bahwa ”Kejaksaan memiliki fungsi ganda di samping sebagai aparat penegak hukum,juga menempati posisi dalam pengaruk kekuasaan eksukutif”. Pendapat ini menggambarkan, bahwa kejaksaan memiliki tempat kekuasaan yang luas dalam ranah hukum negara Indonesia, karena kejaksaan merupakan suatu bagian sarana untuk memproses hukum yang tidak dapat di pisahkan baik yang sifatnya interen maupun eksteren. Oleh karena itu, peran jaksa sangat vital sebagai pelaksana pemerintahan khususnya dalam lapangan penegakkan hukum demi tegaknya keadilan dan kebenaran untuk kepentingan umum.
2 komentar:
wing, bnar bgt tuh. friend.
Oke Deh, www.jamdikoz.co.cc
Posting Komentar