Senin, 04 Agustus 2008

DOKTER CINTA

Pondok Cinta merupakan sarana yang di buat khusus buat kamu-kamu yang lagi punya masalah dengan namanya love or cinta. Mau tau kaga sapa di balik layarnya......?
Neh gue buka yah ident nya......!
Nama : Rano Kardi as Randi
Alamat : Jl Bikotien Gang Bima No..( duuh lupa..)
Agama : Islam
Contact : 085251973253

ups.. lupa, biar kaga penasaran neh orangnya....hehe...

TENTANG AKU>>>>

Aku suka:

  • Sikap kelakar
  • Budi pekerti dan kesopanan
  • Murah hati
  • Senyuman manja
  • Pandai memasak
  • Pandai dalam mengenakan pakaian
  • Penampilan/imej yang sesuai dengan citarasanya
  • Tak mudah naik angin
  • Seorang wanita yang sanggup meminjamkan keretanya pada lelaki bila kereta laki tersebut rosak
  • Tak terlalu seksi dalam berpakaian
  • “Tak apalah, tadi U dah belanja I makan, jadi sekarang biar I belanja tiket wayang”
  • Wanita yang dapat menjalin hubungan rapat dengan ibu atau keluarganya
  • Berwawasan atau bercita-cita tinggi
  • Mempunyai keyakinan diri yang tinggi
  • Tahu menjaga maruah diri. Bersemangat dan tak mudah mengalah dalam situasi yang tertekan.
  • Sentiasa berada di sisinya saat duka dan gembira
  • Tak berleter walau terpaksa menghantar lelaki ke lapangan terbang pada 2 pagi
  • Sediakan secawan teh atau kopi tanpa disuruh oleh lelaki
  • Wanita yang mengambil berat tentang lelaki
  • Sikap keibuan
  • Sukakan kanak-kanak
  • Suara lembut tanpa dibuat-buat
  • Pandai membawa diri. Tak kekok dibawa ke mana pun
  • Boleh dibawa berbincang dan memberi pendapat
  • Memberi sokongan moral dalam apa jua usaha yang dilakukan lelaki
  • Tak memperkecilkan kelemahan lelaki sebaliknya menerima seadanya diri lelaki tersebut
  • Tahu bersyukur
  • Pandai berjimat-cermat
  • Tak mengharapkan lelaki dalam semua hal

AKu Tak Suka:

  • Wanita yang suka mengumpat
  • Sombong dan bongkak
  • Menunjukkan sikap yang terlalu memiliki
  • Hisap rokok
  • “Kau ni macam orang tiga suku!” Mengutuklah tu…
  • Wanita yang melayan lelaki seperti alas kaki
  • Wanita yang suka menunjuk-nunjuk untuk dapatkan perhatian
  • “Tak bolehkah U lakukan sesuatu yang betul!”
  • “Jangan cuba beritahu I apa yg patut I lakukan dan yang tak patut I lakukan..”
  • Wanita yang hipokrit
  • Pembohong dan suka mencari alasan
  • Terlalu ingin mengetahui hal peribadi si lelaki
  • Sukar buat keputusan terutamanya hal berkenaan hubungan mereka
  • Kurang sifat kasih sayang walaupun terhadap binatang
  • Pengotor dan pemalas
  • Tak bertanggungjawab langsung
  • Tak pandai mengemas
  • Terlalu bebas dan kuat bersosial hingga tiada batasan pergaulan
  • Kuat berleter walau hal remeh temeh
  • Boros berbelanja
  • Tak tahu memasak
  • Sikap manja yang terlalu menyakitkan hati
  • “Queen Control” atau suka mengarah-arah
  • Tak pandai bergaya atau selekeh
  • Suka bermekap tebal sehingga hilang keayuan asli
  • Suka mengungkit-ungkit hal-hal lalu
  • Panas baran
  • Kuat merajuk dan sukar dipujuk
  • Terlalu pendiam sehingga susah untuk berkomunikasi
  • Tak mahu mengakui kesilapan dan ego

friend^s

neh nama-nama temen gue yang pada lucu..... hehe.

1. Wiwit...
ganteng see tapi gay...haha
2. Akin
punya mertua yang baik banget
3.Parlin
neh anak dah sarjana..dan ngambil S2 di unlam
4.lelu
sang gajah yang suka bobo melulu...
5.ari
neh sifatnya sama gaya gue..sama-sama ada M nya
6.David
sepupu giring nidji,cuman di rambut doang yang sama
7. jali
neh anak bulat banget kaya bola..
8. gino
anak tamiang yang kabur dari penjara cipinang
9.Gono
ne paling tua neh....tapi tap gaul booo
masih banyak see yang lain... cuman kaga ada yang aneh.
temen-temenq di atas adalah PK SONGO.hehehe


BUAT KAUM HAWA.......

  1. Untuk membentuk bibir yang menawan, ucapkan kata-kata kebaikan.
  2. Untuk mendapatkan mata yang indah, carilah kebaikan pada setiap orang yang anda jumpai.
  3. Untuk mendapatkan bentuk badan yang langsing, berbagilah makanan dengan mereka yang kelaparan.
  4. Untuk mendapatkan rambut yang indah, mintalah seorang anak kecil untuk menyisirnya dengan jemarinya setiap hari.
  5. Untuk mendapatkan sikap tubuh yang indah, berjalanlah dengan segala ilmu pengetahuan, dan anda tidak akan pernah berjalan sendirian. Manusia, jauh melebihi segala ciptaan lain, perlu senantiasa berubah, diperbaharui, dibentuk kembali, dan diampuni.
  6. Jadi, jangan pernah kecilkan seseorang dari hati anda apabila anda sudah melakukan semuanya itu, ingatlah senantiasa, jika suatu ketika anda memerlukan pertolongan, akan senantiasa ada tangan terulur.
  7. Dan dengan bertambahnya usia anda, anda akan semakin mensyukuri telah diberi dua tangan, satu untuk menolong diri anda sendiri, dan satu lagi untuk menolong orang lain.
  8. Kecantikan wanita bukan terletak pada pakaian yang dikenakannya, bukan pada bentuk tubuhnya, atau cara dia menyisir rambutnya.
  9. Kecantikan wanita terdapat pada matanya, cara dia memandang dunia. Kerana di matanyalah terletak gerbang menuju ke setiap hati manusia, di mana cinta dapat berkembang.
  10. Kecantikan wanita, bukan pada kehalusan wajahnya, tetapi kecantikan yang murni, terpancar pada jiwanya, yang dengan penuh kasih memberikan perhatian dan cinta yang dia berikan dan kecantikan itu akan tumbuh sepanjang waktu.

PERSEPAR MANIA

PERSEPAR MANIA
SPORTER KALTENG MANIA

bab 1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sebagai makhluk hidup, manusia selalu dituntut untuk melakukan perbuatan dan tingkah laku. Perbuatan dan tingkah laku manusia ada yang bersifat baik dan buruk. Oleh karena itu, untuk mencegah agar tidak terjadinya perbuatan manusia yang tidak baik, maka negara sebagai pemerintah membentuk hukum.

Hukum menurut bentuknya ada yang bersifat tertulis dan tidak tertulis. Bentuk hukum yang tidak tertulis berawal dari kebisaaan yang tumbuh dimasyarakat salah satunya adat. Sedangkan hukum yang tertulis ialah hukum yang diterbitkan oleh pemerintah yaitu hukum positif.

Sebagai negara hukum berdasarkan atas Undang-Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat (3), negara Indonesia harus menjunjung tinggi keberadaan hukum yang berlaku. Definisi tentang hukum sangat beraneka ragam. Menurut Utrecht yang dikutip oleh Sudarsono, pengertian hukum ialah:

“Himpunan peraturan-peraturan yang berisi perintah-perintah dan larangan-larangan yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu sendiri.”[1]

Dengan demikian maka hukum merupakan hal sangat penting guna menjamin hak dan mengatur kewajiban manusia dalam menjalani kehidupan.

Sebagai salah satu jenis hukum, Kitab Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur mengenai bagaimana cara menjalankan hukum materilnya yaitu hukum pidana. Pelaku pidana berdasarkan atas isi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mempunyai beberapa tingkatan yaitu tersangka, terdakwa dan terpidana. tersangka merupakan status pertama dalam persidangan. kedudukan tersangka ini berada pada pengadilan negeri dan apabila dari proses pemeriksaan terbukti melakukan perbuatan pidanan maka statusnya akan berubah sebagai terdakwa dan apabila sudah dijatuhi sanksi hukum oleh hakim maka statusnya berubah menjadi terpidana.

Seseorang yang menjadi status terpidana, menurut ketentuan hukum juga mmepunyai hak. Adapun pengaturan hak ini bertujuan agar dalam penjatuhan sanksi hukum dapat berjalan dengan benar. Hak terdakwa ini dapat dibedakan melalui pengajuan upaya hukum. Menurut Osman Simanjuntak pengajuan upaya hukum bertujuan melakukan pemeriksaan dalam usaha mencari kepastian hukum yang mengandung kebenaran dan keadilan.[2] Dari pengartian tersebut maka kedudukan upaya hukum sangat berarti bagi terdakwa dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan.

Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang merupakan sumber hukum dalam proses beracara dalam perkara pidana, upaya hukum terdiri dari upaya hukum bisaa dan upaya hukum luar bisaa. Upaya hukum bisaa dibedakan menjadi pemeriksaan banding pada tingkat Pengadilan Tinggi dan pemeriksaan kasasi pada tingkatan Mahkamah Agung sedangkan upaya hukum luar bisaa berupa permintaan pemeriksaan Peninjauan Kembali. Dari kedua jenis upaya hukum tersebut, upaya hukum luar bisaa merupakan upaya yang terakhir dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan.

Pengaturan mengenai upaya hukum luar bisaa yaitu permintaan Peninjauan Kembali dapat ditemukan dalam pasal 263 sampai pasal 269 KUHAP. Pada pasal 263 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung. Dari pengertian tersebut maka permintaan Peninjauan Kembali merupakan salah satu hak yang dimiliki terpidana atau ahli warisnya. Namum dalam kenyataan yang ada terkait dengan Peninjauan Kembali, banyak mempunyai interprestasi (penafsiran) yang berbeda khususnya mengenai siapa yang berhak mengajukannya. Mengenai interprestasi tersebut, menurut Al Wisnubruto dan G. Widiartana menjelaskan bahwa:

Masalah siapa yang bisa mengajukan Peninjauan Kembali meskipun pasal 263 ayat (1) KUHAP dengan tegas menyatakan bahwa yang berhak untuk mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali adalah terpidana atau ahli warisnya, ternyata dalam praktek Jaksa Penuntut Umum pun dapat melakukannya, seperti yang terlihat dalam kasus Mochtar Pakpahan. [3]

Dengan adanya kasus Mochtar Pakpahan tersebut, menjadikan adanya interprestasi mengenai pihak yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali yaitu Jaksa Penuntut Umum yang berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 55 PK/ PID/ 1996. tanggal, 25 oktober 1996, yang merupakan salah satu sumber hukum berbentuk Yurisprudensi. Selain itu mengenai interprestasi pihak yang mengajukan Peninjauan Kembali dapat ditemukan dalam pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 tahun 1980 bahwa “permohonan Peninjauan Kembali harus diajukan sendiri oleh pihak yang berkepentingan yaitu pihak yang berperkara, atau ahli warisnya atau seseorang yang secara khusus dikuasakan untuk itu”. Dari ketentuan PERMA tersebut menurut Soedirjo berpendapat bahwa:

Kedudukan Peninjauan Kembali sebagai jalan untuk mencari keadilan bagi pihak yang berperkara yang mempunyai arti bukan saja terpidananya namun Jaksa juga mempunyai hak untuk mengajukan Peninjauan Kembali apabila putusan itu kemudian ternyata tidak adil.[4]

Dari pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Jaksa juga dapat mengajukan Peninjauan Kembali dikarenakan Jaksa juga merupakan pihak yang berkepentingan dalam suatu perkara terlebih menyangkut mengenai perannya sebagai wakil dalam membela kebenaran dan keadilan bagi korban perkara pidana.

Selain keberadaan dari kedua ketentuan hukum tersebut, diterima atau tidaknya permintaan Peninjauan Kembali sebenarnya tergantung pada pendirian hakim di Mahkamah Agung berdasarkan atas Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Namun apabila berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang tersebut, mengenai pihak mana yang boleh mengajukan Peninjauan Kembali dapat dilihat pada pasal Pasal 16 ayat (1) Undang Nomor 4 Tahun 2004 yang berbunyi Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Dari isi pasal tersebut, maka dapat mengakibatkan adanya penafsiran bahwa pengajuan Peninjauan Kembali juga dapat diajukan oleh Jaksa walaupun sebenarnya hal ini dapat mengakibatkan adanya dalih hukum yang tidak jelas dikarenakan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menentukan bahwa hanya terpidana atau ahli warisnyalah yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali tersebut.

Melihat uraian tersebut yang menggambarkan adanya kerancuan hukum mengenai siapa yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali, maka penulis tertarik membuat tulisan ilmiah yang berbentuk skripsi dengan judul KEDUDUKAN JAKSA DALAM PENGAJUAN UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI BERDASARKAN HUKUM POSITIF INDONESIA

1.2.Perumusan dan Batasan Masalah

Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi yang berjudul Kedudukan Jaksa Dalam Pengajuan Upaya Hukum Peninjauan Kembali Berdasarkan Hukum Positif Indonesia yaitu :

1. Bagaimana kedudukan Jaksa dalam pengajuan upaya hukum Peninjauan Kembali berdasarkan Keputusan Mahkamah Agung No 55 PK/Pid/1996 ?

2. Bagaimana akibat hukum pengajuan Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap Hak Terdakwa?

Dalam Skripsi ini, penulis memberikan batasan masalah yaitu mengenai kedudukan Jaksa dalam mengajukan Peninjauan Kembali yang di dasarkan oleh ketentuan keputusan Mahkamah Agung No 55 PK/Pid/1996.

1.3.Tujuan Penelitian

Yang menjadi tujuan penelitian Skripsi dengan judul ialah sebagai Kedudukan Jaksa Dalam Pengajuan Upaya Hukum Peninjauan Kembali Berdasarkan Hukum Positif Indonesia ialah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui dan memahami kedudukan Jaksa dalam pemgajuan upaya hukum Peninjauan Kembali berdasarkan hukum positif yang ada di Indonesia

b. Untuk mengetahui dan memahami akibat hukum dengan adanya penerimaan oleh hakim mengenai pengajuan Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap hak terdakwa

1.4. Manfaat Penelitian

Penulisan Skripsi dengan judul Kedudukan Jaksa Dalam Pengajuan Upaya Hukum Peninjauan Kembali Berdasarkan Hukum Positif Indonesia mempunyai manfaat sebagai berikut :

a. Secara teoritis

Sebagai bahan masukan bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang ilmu hukum mengenai Pengajuan Upaya Hukum Peninjauan Kembali Berdasarkan Hukum Positif Indonesia

b. Secara Praktis

Sebagai masukan bagi kalangan praktisi hukum dan pemerintah berkaitan dengan Pengajuan Upaya Hukum Peninjauan Kembali

c. Secara Akademik

Sebagai salah satu syarat dalam meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya.

1.5. Metode Penelitian

1.5.1. Jenis Pendekatan

Penelitian mengenai Kedudukan Jaksa Dalam Upaya Hukum Peninjauan Kembali Menurut Hukum Positif Indonesia akan dilakukan dengan penelitian hukum normatif, yang dimaksudkan adalah penelitian yang bahan utamanya adalah peraturan perundang-undangan yang substansinya materi hukumnya relevan dengan permasalahan dalam skripsi ini.

1.5.2. Sumber Bahan Hukum

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas:

a. Bahan Hukum Primer berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Kedudukan Jaksa dalam Upaya Hukum Peninjauan Kembali menurut Hukum Positif Indonesia, yaitu:

1. Undang-Undang Dasar 1945

2. Undang-Undang no 1 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

3. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

5. Keputusan Mahkamah agung No 55 PK/Pid./1996 Tanggal 25 Oktober 1996

6. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 tahun 1980 tentang Peninjauan Kembali Putusan yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum yang tetap

b. Bahan Hukum Sekunder yang akan digunakan berupa buku-buku Hasil karya para pakar, laporan hasil penelitian, serta hasil karya ilmiah lainnya yang relevan dengan permasalahan dalam skripsi ini

c. Bahan Hukum Tersier meliputi kamus hukum

1.5.3. Analisis Bahan Hukum

Bahan hukum yang terkumpul diperiksa kembali kelengkapannya serta relevansinya satu sama lainnya, kemudian di sistematisasi sesuai dengan permasalahan dalam penelitian. Analisis dilakukan dengan cara menelaah dan menelusuri peraturan perundang-undangan serta bahan pustaka melalui langkah secara sistematis guna memberikan makna terhadap hukum tersebut, kemudian disajikan dalam bentuk pemaparan, sehingga akhirnya dapat memberikan jawaban atas permasalahan-permasalahan dalam skripsi ini

1.6. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini disusun dengan sistematikanya terbagi atas bab-bab sebagai berikut:

Bab 1 : PENDAHULUAN berisi tentang latar belakang masalah disertai dengan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dimaksudkan untuk menjelaskan jenis pendekatan dalam penelitian, sumber bahan hukum yang digunakan dan cara menganalisa bahan hukum dalam mencari jawaban atas permasalahan-permasalahan dalam skripsi ini.

Bab II: KEDUDUKAN JAKSA DALAM UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI (HERZEINING) yang berisi tentang Pengertian Upaya hukum, Kedudukan Jaksa dalam Upaya Hukum Peninjauan Kembali, Proses Pengajuan Peninjauan Kembali, Kedudukan dan Wewenang Jaksa dan Dasar Hukum Peninjauan Kembali

Bab III: KEDUDUKAN JAKSA DALAM PENGAJUAN UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI BERDASARKAN HUKUM POSITIF INDONESIA berisikan tentang kedudukan Jaksa dalam pemgajuan upaya hukum Peninjauan Kembali berdasarkan hukum positif yang ada di Indonesia dan akibat hukum dengan adanya penerimaan oleh hakim mengenai pengajuan Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap hak terdakwa

Bab IV: PENUTUP yang berisi kesimpulan dan saran-saran



[1] Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004 Hal 4-5

[2] Osman Simanjuntak, Tehnik Penuntutan dan Upaya Hukum, PT Gramedia Widyasarana Indonesia, Jakarta, 1995, hal. 128

[3] Al Wisnubruto dan G. Widiartana, Pembaharuan Hukum Acara Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005 hal. 106

[4] Soedirjo, Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana (arti dan Makna), CV Akademika Pressindo, Jakarta, 1985, hal.28

bab 2

BAB II

KEDUDUKAN JAKSA DALAM UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI (HERZEINING)

2.1. Pengertian Upaya Hukum

Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pasal 1 angka 12 menyatakan bahwa upaya hukum adalah terdakwa atau Penuntut Umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali dalam hal serta menurut cara yang di atur dalam Undang-Undang ini. Selanjutnya menurut Osman Simanjuntak menyatakan bahwa :

“Upaya hukum adalah suatu tindakan atau suatu usaha baik dari terdakwa,maupun Jaksa Penuntut Umum atau pihak ketiga untuk memperoleh hak-haknya kepada pejabat berdasarkan Undang-Undang yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam usaha mencari kepastian hukum yang mengandung keadilan dan kebenaran”.[1]

Upaya hukum adalah alat untuk memberikan hak terdakwa untuk mencari keadilan melalui kepastian hukum yang sesuai dengan Undang-Undang agar dalam hal pemberian keputusan tidak ada penyimpangan terhadap penerapan hukum yang ada. Selain itu, oleh Mangasa Sidabutar dalam bukunya “Hak terdakwa terpidana Penuntut Umum menempuh upaya hukum” menyebutkan bahwa cakupan upaya hukum menunjuk pada adanya :

a. Obyek upaya hukum adalah putusan pengadilan

b. Pemohon upaya hukum yaitu terdakwa,terpidana atau Penuntut Umum

c. Jenis upaya hukum yaitu berupa perlawanan, banding,kasasi dan peninjauan kembali[2]

Upaya hukum berdasarkan KUHAP terdiri dari upaya hukum bisaa dan upaya hukum luar bisaa. Upaya hukum bisaa terdiri dari pemeriksaan tingkat banding dan pemeriksaan tingkat kasasi, dan upaya ukum luar bisaa yang terdiri dari pemeriksaan tingkat kasasi demi kepentingan hukum dan pemeriksaan tingkat Peninjauan Kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Adapun pengaturannya dalam KUHAP dapat di jabarkan sebagai berikut:

a. Upaya Hukum Bisaa di atur dalam BAB XVII pasal 233 sampai 258

b. Upaya Hukum Luar Bisaa di atur dalam BAB XVIII pasal 259 sampai 269.

Upaya hukum bisaa terdiri dari atas 2 tingkatan pemeriksaan yaitu :

1. Pemeriksaan Tingkat Banding (pasal 233 sampai pasal 234 )

Apabila terdakwa atau Penuntut Umum ada yang merasa salah menyangkut kurang tepatnya penerapan hukum dan dalam putusan pengadilan maka terdakwa dan Penuntut Umum berhak untuk meminta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas.

Untuk permintaan banding ini dapat di ajukan dalam waktu ke pengadilan negeri setelah sesudah putusan di jatuhkan dan apabila di terima oleh pengadilan negeri panitera akan memberitahukan permintaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 14 hari sejak pengajuan banding oleh terdakwa mengirimkan salinan putusan pengadilan negeri kepada pengadilan tinggi berupa berkas perkara dan surat bukti dan selama pengadilan tinggi belum memeriksanya maka terdakwa maupun Penuntut Umum dapat menyertakan memori banding kepada Pengadilan Tinggi tesebut.

Dalam pemeriksaan banding, pemeriksaan keseluruhan yang ada di pengadilan negeri di ulang kembali baik mengenai dakwaanya, alat bukti pertimbangan hukum serta berita acara persidangan. Menurut Osman Simanjuntak menyatakan :

“Banding merupakan yudicium Novum jika di pandang perlu pengadilan tinggi mendengar dendiri keterangan terdakwa atau saksi tentang apa yang di ketahui oleh pengadilan tinggi. Sehubungan dengan itu tidak tertutup kemungkinan pada peradilan tingkat ulang untuk di majukan saksi,keterangan atau alasan yang baru"[3]

Hal ini merupakan tugas dari pengadilan tinggi untuk memeriksa secara jelas mengenai perkara dalam permintaan banding agar nantinya bersesuaian dengan penerapan hukum yang ada. Dan pada perinsipnya banding diperiksa oleh Pengadilan Tinggi dapat membatalkan penetapan yang ada dalam pengadilan negeri yang asalkan tidak mengandung pembebasan atau lepas dari segala tuntutan dan tidak dalam pemeriksaan acara cepat.

2. Pemeriksaan tingkat kasasi ( pasal 244 sampai 258)

Kasasi berasal dari bahasa perancis yaitu cassation yang berasal dari kata kerja “ casser”[4], yang berarti “ membatalkan “ atau “ memecahkan”. Hal ini senada dengan kamus besar Indonesia yang berarti pembatalan atau pernyataan tidak sah oleh Mahkamah Agung tehadap Putusan Hakim karena putusan itu menyalahi atau tidak sesuai dengan Undang-Undang. Dari pengertian di atas, apabila kita hubungkan dengan ketentuan pasal 253 ayat (1) dapat dikemukakan bahwa upaya hukum kasasi dalah hak terdakwa atau penutut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan pada tingkat terakhir, dengan cara mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung guna membatalkan putusan pengadilan dengan alasan bahwa putusan yang dimintakan kasasi tersebut, peraturan tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya, mengadili tidak dilaksanakan menurut Undang-Undang pengadilan telah melampaui batas wewenangnya. Dari keterangan di atas dapat dilihat bahwa kasasi bertujuan untuk adanya kepastian hukum dan agar sesuai dengan pandangan dan perkembangan masyarakat. Menurut Harun M. Husein , tujuan dan fungsi kasasi adalah :

a. Koreksi atas kesalahan atau kekeliruan putusan pengadilan bawahan.

b. Memperbaiki kesalahan pengadilan bawahan yang berupa tindakan yang melampaui batas wewenangnya.

c. Menciptakan dan membentuk hukum baru.

d. Terciptanya keseragaman penerapan hukum.[5]

Melalui koreksi atas putusan pengadilan bawahan bertujuan untuk meluruskan kesalahan atas kekeliruan penerapan hukum, pengadilan dalam melaksanakan tugas mengadili harus di sesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang, dalam menciptakah hukum baru dalam praktek hukum agar untuk mengisi kekosongan hukum yag menghambat jalannya peradilan dan dalam rangka mensejajarkan makna dan jiwa ketentuan Undang-Undang sesuai dengan pertumbuhan kebutuhan lajunya perkembangan nilai dan kesadaran masyarakat.

Mengenai tata cara pengajuan kasasi, permintaan kasasi dapat di ajukan oleh terdakwa atau Penuntut Umum kepada Mahkamah Agung yang di sampaikan kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama dan akan di buat dalam surat keterangan yang di sebut akta permintaan kasasi dan pengajuan kasasi hanya dapat di lakukan 1 kali saja. Adapun yang menjadi alasan di ajukannya kasasi oleh terdakwa kepada Mahkamah Agung berdasarkan pasal 253 ayat (1) :

a. Apakah benar suatu peraturan hukum tidak di terapkan atau di terapkan sebagaimana mestinya.

b. Apakah benar cara mengadili tidak di laksanakan menurut ketentuan Undang- Undang.

c. Apakah benar pengadilan telah melampui batas wewenangnya.

Alasan di atas sifatnya limitatife karena pemohon kasasi tidak dapat mempergunakan alasan lain selain daripada yang di tetapkan oleh Undang-Undang yang berarti sekaligus membatasi wewenang Mahkamah Agung memasuki perkara dalam tingkat kasasi.

Upaya hukum luar bisaa terdiri atas 2 pemeriksaan yaitu :

1. Pemeriksaan Kasasi Demi Kepentingan Hukum

Upaya hukum ini termasuk hukum luar bisaa karena memiliki corak yang khusus yang membedakannya dengan kasasi bisaa. Adapun corak khusus tersebut adalah :

a. Kasasi demi kepentingan hukum di ajukan atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

b. Permohonan kasasi demi kepentingan hukum merupakan wewenang Jaksa Agung.

c. Putusan demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan

d. Pertimbangan adanya kasasi demi kepentingan hukum ini karena adanya suatu kekeliruan atau kesalahan penerapan hukum yang sebelum putusan pengadilan yang bersangkutan berkekuatan hukum, tidak di ketahui.

Untuk alasan-alasan adanya kasasi demi kepentingan hukum ini dapat di katakan tidak limitatif karena dapat juga di sertai dengan alasan lainnya. Seperti halnya yang di kemukakan oleh M.Yahya Harahap bahwa :

“Kalau kita bertitik tolak dari kata kepentingan hukum berarti tidak hanya sebatas ada kesalahan yang di sebutkan dalam pasal 253 ayat (1) KUHAP, bahkan meliputi segala segi yang menyangkut pemidanaan, barang bukti, biaya perkara, penilaian pembuktian dan sebagainya”.[6]

Mengenai tata cara pengajuan kasasi demi kepentingan hukum dalam hal penyampaian risalah kasasinya tidak di tentukan tenggang waktunya seperti halnya kasasi bisaa. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pasal 260 permohonan kasasi harus di ajukan secara tertulis oleh Jaksa Agung kepada Mahkamah Agung melalui panitera pengadilan yang memutus perkara dalam tingkat pertama. Hal ini berarti bahwa Jaksa Agung tidak perlu bertemu dengan panitera pengadilan, cukup bila permintaan kasasi beserta risalahnya di kirimkan melalui panitera pengadilan yang bersangkutan. Kemudian risalah demi kepentingan hukum oleh panitera segera di sampaikan kepada pihak yang berkepentingan yang selanjutnya akan di kirimkam kepada Mahkamah Agung untuk di periksa.

Adapun yang menjadi maksud dan tujuan kasasi demi kepentingan hukum menurut Harun M. Husein adalah :

“Tidak terlepas dari maksud dan tujuan penggunaan upaya hukum bisaa, kasasi demi kepentingan hukum tujuannya adalah sama yaitu meminta agar Mahkamah Agung meluruskan kekeliruan dalam putusan yang di mintakan kasasi”.[7]

Kasasi demi kepentingan hukum ingin terciptanya suatu kesatuan hukum yang nantinya dapat di pakai kembali apabila ada persoalan hukum yang sama sehingga tidak perlu adanya penemuan hukum dan memberikan dorongan kepada para hakim supaya dalam pengambilan keputusan memberikan tauladan kepada para hakim yang akan datang dalam pengambilan keputusan.

2. Pemeriksaan Tingkat Peninjauan Kembali.

Peninjauan Kembali merupakan suatu upaya hukum yang di gunakan untuk memperoleh penarikan kembali atau perubahan terhadap putusan hakim yang pada umumnya tidak dapat di ganggu gugat lagi. Dalam sistem peradilan Indonesia kasus yang berakhir dengan putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap tidak dapat di perkarakan lagi. Hal ini menandakan adanya kepastian hukum sebagai suatu kekuatan sistem hukum yang melindungi berdasarkan keadilan.

Apabila tidak terjadi keadilan berarti mempertahankan suatu putusan yang tidak adil adalah bertentangan dengan syarat bagi hukum dan juga merupakan bukan tuntutan kepastian hukum. Oleh karena itu perlu adanya upaya atau sarana untuk memperbaiki adanya kekhilafan dalam mengambil suatu putusan yang di sertai dengan syarat-syarat yang ketat pada tentunya.

Demi tegaknya suatu keadilan keputusan yang memiliki kekuatan hukum yang tetap perlu adanya suatu upaya yang sifatnya luar bisaa dan istemewa, dan letak keistemawaanya itu terletak pada bisanya membatalkan keputusan hakim yang memiliki kekuatan hukum yang tetap.

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pasal 263 ayat (1) menyatakan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari tuntutan, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan Peninjaun Kembali kepada Mahkamah Agung. Dengan adanya penetapan Peninjauan Kembali dalam KUHAP ini berarti hukum memberikan suatu pilihan alternative (alternative choice) untuk adanya penegakan hukum demi tercapainya suatu kesatuan hukum yang berdasarkan pada keinginan dan hati nurani rakyat dalam mencari keadilan.

Terkait dengan proses pemeriksaan tingkat Peninjauan Kembali maka perlu di perhatikan hal-hal sebagai berikut :

a. Yang berhak mengajukan permintaan Peninjauan Kembali

Adapun yang berhak untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap adalah terpidana atau ahli warisnya.

b. Dasar alasan dalam permohonan Peninjauan Kembali

- Yang dapat di mintakan Peninjauan Kembali ini adalah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Namun apabila putusan itu berupa putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum tidak dapat di ajukan Pennjauan Kembali.

- Alasan di ajukannya Peninjauan Kembali adalah adanya keadaan baru yang dapat menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah di ketahui pada waktu sidang masih berlangsung hasilnya akan berupa putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan atau tuntutan Penuntut Umum tidak dapat di terima atau terhadap perkara itu di terapkan ketentuan pidana yang lebih ringan, dasar alasan dalam putusan saling bertentangan satu dengan yang lainnya, serta adanya kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata dan terbukti tanpa adanya pemidanaan.

Perlu di perhatikan di sini bahwa permintaan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut dalam tingkat peradilan tingkat pertama dan permintaan Peninjauan Kembali hanya dapat di lakukan 1 kali saja. Ketentuan-ketentuan mengenai Peninjauan Kembali dalam KUHAP menurut H.M.A.Kuffal mengandung beberapa kelemahan yaitu sebagai berikut :

a. Di dalam KUHAP tidak terdapat ketentuan yang mengatur mengenai tata cara permintaan Peninjauan Kembali yang di lakukan oleh Jaksa.

b. KUHAP tidak mengatur mengenai akibat hukum apabila pemohon Peninjaun Kembali melanggar ketentuan yang di atur dalam pasal 265 ayat (2) dan ayat (3) yaitu terpidana atau pemohon Peninjauan Kembali tidak menghadiri pemeriksaan sidang Pengadilan Negeri untuk memeriksa permintaan Peninjauan Kembali, karena pada waktu di lakukan eksekusi terhadap putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap ternyata terrpidana atau pemohon Peninjauan Kembali telah melarikan diri dan menjadi buronan.

c. Dalam KUHAP tidak terdapat ketentuan yang mengatur mengenai tindakan hukum yang harus di lakukan oleh Mahkamah Agung selaku pengadilan negara tertinggi apabila terjadi Majelis Hakim Agung yang memeriksa atau mengadili perkara Peninjauan Kembali melakukan pelanggaran terhadap KUHAP yang mengatur tentang persyaratan dan tata cara pengajuan Peninjauan Kembali yang di jatuhkan Majelis Hakim Agung menjadi putusan yang cacat hukum atau batal demi hukum.[8]

2.2. Kedudukan Jaksa Dalam Pengajuan Peninjauan Kembali

Jaksa pejabat negara yang mengurus peradilan demi tegaknya keadilan memiliki kewenangan yang luas dalam proses peradilan dari penyelidikan, penyidikan sampai penuntutan. Dalam kewenangannya itu adalah untuk memberikan pertanggungj awaban hukum dalam menegakkan keadilan dan kepentingan umum.

Di dalam Undang-Undang Kejaksaan Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan, Jaksa memiliki suatu kekuatan hukum untuk menindak lanjuti suatu perkara yang di anggap belum memenuhi keadilan demi tegaknya suatu negara hukum yang melindungi masyarakatnya sebagai perwujudan dari kehendak Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila.

Peninjauan Kembali adalah suatu proses untuk mencari keadilan dalam rangka adanya ketidak puasan terhadap putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 263 ayat (1) hak untuk pengajuan upaya hukum Peninjauan Kembali ini secara letter lex adalah terdakwa atau ahli warisnya. Namun, apabila melihat dari perkembangan hukum Jaksa sebagai penegak hukum melakukan penerobosan hukum dalam hal ini ikut berpartisipasi dalam ranah hukum Peninjauan Kembali mengajukan upaya hukum Peninjauan kembali berdasarkan alasan untuk tegaknya keadilan dalam suatu keputusan hakim yang di anggap belum memenuhi kehendak hukum.

Namun, sebelum adanya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ada suatu Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1980 yang dalam pasal 3 yaitu adanya kuasa khusus yang di interprestasikan adalah Jaksa sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk memenuhi kepentingan-kepentingan terpidana dalam ketidak puasannya dalam suatu putusan hakim yang di anggap tidak memenuhi keadilan bagi perkara terpidana. Hal ini menandakan bahwa dalam proses pengajuan upaya hukum Peninjauan Kembali Jaksa memiliki suatu kewenangan untuk melindungi kepentingan umum apabila terjadi suatu kekeliruan dalam suatu putusan hakim.

Selain itu, kedudukan Jaksa untuk dapat mengajukan Peninjauan Kembali di perkuat dengan adanya Yurisprudiensi Nomor 55 PK/Pid/1996 yang telah mengabulkan permohonan Jaksa untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali atas kasus Mochtar Pakpahan. Walaupun Yurisprudiensi ini tidak tunduk kepada peraturan umum yang berlaku yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana namun dengan terbitnya Yurisprudiensi ini memberikan dasar kepada para hakim sebagai kerangka berpikir dalam permohonan Peninjaun Kembali.

Di dalam Undang-Undang No 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, mengenai Peninjauan Kembali ini di atur dalam pasal 23 yang menyatakan apabila terdapat hal-hal atau keadaan yang di tentukan dengan Undang-Undang terhadap putusan yang telah memperoleh putusan hakim tetap dapat dimintakan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak yang berkepentingan. Hal ini dikarenakan Jaksa merupakan salah satu pihak yang berkepentingan, yaitu berkepentingan untuk mencari keadilan sebagai perwakilan bagi negara. Jadi, kedudukan Jaksa di dalam Undang-Undang ini adalah apabila adanya novum maka jaksa mempunyai wewenang untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali terlebih dengan adanya kewenangan khusus untuk mengefektifkan proses penegakan hukum yang di berikan Undang-Undang, dan mengesampingkan perkara demi kepentingan umum

2.3. Dasar Hukum Peninjauan Kembali

Peninjauan Kembali adalah dalam rangka untuk mewujudkan adanya keadilan bagi terpidana terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap karena di anggap putusan itu memiliki kesalahan dan penerapan yang kurang baik dalam bagian perwujudan hukumnya maupun proses hukumnya di peradilan.

Berkaitan dengan keadilan bagi terpidana berarti mengacu pada hak-hak asasi manusia,dan dalam Undang-Undang dasar 1945 sangat jelas di terangkan mengenai hal tersebut. Dalam perwujudannya sebagai landasan negara Undang-Undang Dasar memberikan hak bagi warga negaranya untuk memperoleh keadilan yang seadil-adilnya melalui proses hukum yang berlaku tanpa memandang siapa yang meminta adanya penegakan keadilan.

Hal ini dapat di lihat dalam pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa adanya persamaan kedudukan dalam hukum tanpa adanya pembedaan pemberlakuan.Pasal ini memberikan hak kepada terpidana untuk mencari keadilan melalui hukum yaitu dengan proses Peninjauan Kembali untuk dapat membatalkan putusan hakim yang di nilai tidak sesuai dengan penerapan hukum.

Sebagai lanjutan dari Undang-Undang Dasar 1945 ini, Kitab Hukum Acara Pidana memberikan bab tersendiri mengenai pengaturan Peninjaun Kembali ini yaitu dengan memberikan perlindungan hukum hak asasi manusia dalam hal ini adalah terpidana untuk dapat menolak atau tidak menerima putusan hakim sebagai rasa tidak kepuasan atas keputusan itu, KUHAP memberikan kesempatan kepada terpidana dalam pasal 263 ayat (1) untuk dapat mengajukan Peninjauan Kembali terhadap putusan hakim yang tetap demi tercapainya penegakan hukum yang memiliki kepastian hukum yang kuat.

Selain daripada itu, Peninjauan Kembali juga di atur dalam Peraturan Mahkamah Agung No 1 tahun 1980 yaitu Peraturan Mahkamah Agung ke seluruh jajaran peradilan tertentu yang isinya merupakan ketentuan hukum beracara guna penyelenggaran terhadap peradilan yang belum terdapat peraturannya untuk mengisi kekosongan hukum memberikan kesempatan kepada terpidana untuk mendapatkan keadilan terhadap putusan hakim yang tetap. Dengan alasan yang sama seperti yang di kemukakan oleh pasal 263 ayat (2) Mahkamah Agung dapat meninjau kembali terhadap perkara tersebut dengan alasan yang jelas dalam pengajuan upaya hukum Peninjauan Kembali.

Ada hal yang khusus dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) ini yaitu adanya kesempatan bagi Jaksa selaku aparat hukum untuk dapat mengajukan Peninjauan Kembali sebagaimana yang tertera dalam pasal 3 yaitu adanya kuasa khusus yang di interprestasikan adalah Jaksa sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk memenuhi kepentingan-kepentingan terpidana dalam ketidak puasannya dalam suatu putusan hakim yang di anggap tidak memenuhi keadilan bagi perkara terpidana.

Di dalam Undang-Undang No 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, mengenai Peninjauan Kembali ini di atur dalam pasal 23 yang menyatakan apabila terdapat hal-hal atau keadaan yang di tentukan dengan Undang-Undang terhadap putusan yang telah memperoleh putusan hakim tetap dapat dimintakan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung dalam perkara perdana dan pidan oleh pihak yang berkepentingan. Antara Undang-Undang ini dengan PERMA No 1 tahun 1980 ada memiliki persamaan yang sudah beberapa kali di interprestasikan adanya Jaksa sebagai salah satu yang di bolehkan dalam pengajuan Peninjauan Kembali, dan sering menimbulkan hal-hal yang sifatnya membuat rancu hukum terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai peraturan umum yang secara tegas hanya memberi hak kepada terpidana dan ahli warisnya dalam pengajuan Peninjauan Kembali, sehinga asas lex stricta tidak berlaku lagi dalam penerapan hukum.

Dengan perkembangan hukum, Yurisprudensi merupakan salah satu penciptaan hukum dalam proses beracara Peninjauan Kembali, yaitu mengacu pada Yurisprudensi No 55 PK/Pid/1996 walaupun yurisprudensi ini tidak menundukkan diri kepada peraturan umum yang berlaku yaitu KUHAP namun sebagai salah satu sumber hukum merupakan suatu dasar bagi para hakim untuk menjadikannya sebagai kerangka berpikir dalam permohonan Peninjauan Kembali karena menurut A.Kamil dan M.Fauzan memandang bahwa ”Bobot Yurisprudensi lebih potensial menegakkan kelayakan dan perlidungan kepentingan umum, dibanding dengan suatu ketentuan pasal undang-undang”.[9]

A. Kamil dan M. Fauzan menyatakan apabila ada suatu perkara yang di nilai yurisprudensi lebih bisa menegakkan keadilan dan perlidungan hukum, Undang-Undang di suruh mundur secara penuh mengenai pasal yang bersangkutan (contra legem).[10] Kemudian pendapat tersebut lebih diperlunak oleh Paulus yang menyatakan bahwa:

a. Tetap mempertahankan nilai hukum yang terkandung dalam Yurisprudensi

b. Berbarengan dengan itu, ketentuan pasal undang-undang yang bersangkutan di perlunak dari sifat imperatif menjadi Fakultatif.[11]

Dari kedua pendapat tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa keberadaan suatu yurispuriensi yang merupakan salah satu sumber hukum merupakan hal yang tidak dapat dikesampingkan terlebih walaupun terdapat suatu aturan hukum yang secara substansinya bertentangan dengan Yurisprudiensi tersebut dengan syarat yurispudiensi itu lebih mengutamakan kepentingan yang bersifat umum demi terciptanya keadilan masyarakat.

2.4. Proses Pengajuan Upaya Hukum Peninjauan Kembali

Permintaan Peninjauan Kembali di ajukan oleh terpidana atau ahli warisnya kepada panitera yang memutus perkaranya dalam tingkat pertama dengan menyebutkan secara jelas alasannya dan apabila ada hal pemohon yang kurang memahami hukum maka panitera wajib untuk menanyakan alasan pemohon dalam mengajukan Peninjuan Kembali. Permintaan Peninjauan Kembali tidak di batasi dengan jangka waktu tertentu agar jangka untuk mempelajari perkara ditingkat pertama dapat lebih jelas di pelajari oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Setelah permohonan Peninjauan Kembali di terima, Ketua Pengadilan Negeri menunjuk hakim yang tidak memeriksa perkara semula untuk memeriksa apakah alasan pemohon untuk mengajukan Peninjauan Kembali sesuai dengan persyaratan yang berlaku dalam paal 263 ayat (2) KUHAP. Dan setelah itu hakim menetapkan hari pemeriksaan permintaan Peninjauan Kembali serta memerintahkan Jaksa untuk memanggil saksi-saksi yang ada.

Dalam pemeriksaan di persidangan yang tersusun atas hakim yang memimpin sidang, Jaksa dan Panitera, persidangan di buka untuk umum kecuali bila ada Undang-Undang yang menentukan sebaliknya. Dalam pemeriksaan yang mendahului pemeriksaan di Mahkamah Agung meneliti mengenai persyaratan pengajuan Peninjauan Kembali di penuhi, yaitu :

a. Apakah putusan yang terhadapnya di ajukan Peninjauan Kembali telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan mengandung pemidanaan.

b. Apakah pemohon adalah terpidana atau wakilnya berdasarkan surat khusus untuk itu, atau jika terpidana telah meninggal dunia apakah pemohon adalah ahli warisnya atau kuasanya dengan surat kuasa khusus.

c. Apakah alasan dalam mengajukan permohonan Peninjauan Kembali sesuai dengan pasal 263 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP, yaitu :

- Novum

- Pertentangan peradilan

- Kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata

- Pernyataan terbuktinya perbuatan yang di dakwakan tanpa di ikuti oleh pemidanaan.

Apabila semua persyaratan telah terpenuhi maka permohonan Peninjauan Kembali secara formal telah di terima oleh hakim dan hakim akan memeriksa materi perkara sebagaimana yang di kemukakan oleh pemohon. Ketua pengadilan segera melanjutkan permintaan Peninjauan Kembali yang di lampiri berkas pertama, berita acara pemeriksaan, dan berita acara pendapat kepada Mahkamah Agung yang tembusannya di sampaikan kepada pemohon dan Jaksa.

Dalam perkara yang di mintakan Peninjauan Kembali adalah putusan pengadilan banding, maka tembusan surat pengantar tersebut harus di lampiri tembusan berita acara pemeriksaan serta berita acara pendapat dan di sampaikan kepada pengadilan yang bersangkutan.

Setelah berkas sampai kepada Mahkamah Agung dan di berikan registrasi, maka oleh ketua Mahkamah Agung ditunjuk majelis hakim termasuk ketua majelis untuk mengadakan rapat musyarawarah untuk mengambil keputusan. Keputusan yang di ambil dalam musyawarah majelis keputusan Mahkamah Agung yang nantinya akan di ucapkan di muka umum atas perkara Peninjauan Kembali yang di mintakan oleh terpidana atau ahli warisnya.

2.5. Tugas dan Wewenang Jaksa

Istilah Jaksa berasal dari kata dhyaksa yang lahir dari masa jaman majapahit pada masa raja Hayam Wuruk. Dhyaksa ini adalah pejabat negara yang mengurus peradilan dan kedudukannya berada langsung di bawah raja Hayam Wuruk. Selain dhyaksa pada masa itu di kenal juga dharmadhyaksa yaitu pejabat tinggi yang bertugas menjalankan yuridiksi keagamaan, dan keberadaan dharmadhyaksa ini sebagai pengemban rohani di perlukan pertimbangan oleh para dhyaksa sebagai penegakan hukum. Seperti halnya yang di kemukakan oleh Djoko Prokoso yang menyatakan bahwa ”Jaksa mempunyai sifat sebagai wakil pemerintah dalam penegakan hukum”.[12]

Kejaksaan sebagai salah satu penegak hukum di tuntut untuk lebih berperan dalam perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, supremasi hukum. Dan hal ini lah yang mendorong bagi pemerintah untuk membenahi dan menata kembali agar terwujudnya kedudukan dan peranan yang mampu untuk mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan kebenaran berdasarkan hukum yang berlaku.

Dari uraian di atas, sangat jelas bahwa kejaksaan mempunyai peranan yang penting dalam proses menggali nilai-nilai kemanusiaan yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu, sangat lah wajar apabila saat adanya rezim baru berkuasa lembaga kejaksaan melalui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Kejaksaan di berikan kekuasaan yang besar. Bukan cuma berfungsi sebagai Penuntut Umum di pengadilan, tetapi juga melakukan penyelidikan dan penyidikan, tidak semata mengurus tindak pidana bisaa dan khusus namun juga kasus subversif.

Dengan besarnya kekuasaan ini ternyata di mamfaatkan pemerintah untuk memenuhi keinginannya dalam berkuasa, seperti yang di kemukakan oleh Wawan Tunggul Alam yang menyatakan bahwa :

”Dengan adanya kekuasaan kejaksaan,menjadikan lembaga ini di mamfaatkan oleh penguasa untuk membesarkan dan menguatkan kekuasaannya, termasuk melidungi kepentingannya”.[13]

Hal ini berarti bertentangan dengan Undang-Undang No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan pasal 8 ayat (2) yang menegaskan bahwa dalam melakukan penuntutan Jaksa bertindak untuk dan atas nama negara, dan pasal ini di interprestasikan sebagai kepentingan pemerintah. Pada hal kepentingan pemeritah berbeda dengan kepentingan negara, karena kepentingan pemerintah terkadang di pengaruhi oleh golongan yang berkuasa.

Harus di akui, pemisahan ini sangat sulit untuk di lakukan mengingat Jaksa Agung di angkat dan di berhentikan oleh pemerintah dalam hal ini adalah Presiden, sehingga dalam prakteknya fungsi dan tugasnya Jaksa tidak lagi sebatas melaksanakan kegiatan penegakan hukum guna meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat.

Namun sebagai aparat hukum, lembaga kejaksaan memiliki pertanggungjawaban dengan segala sesuatu yang bertentangan dengan janji atau sumpahnya sebelum memangku jabatannya sebagai Jaksa. Mengenai sumpah atau janji ini terdapat dalam pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Kejaksaan sebagai simbol bahwa kejaksaan merupakan lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara secara profesional dan bertanggung jawab sepenuhnya dengan Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, bangsa, dan negara.

Adapun untuk melaksanakan hal tersebut di atas Jaksa di beri tugas dan wewenang yang berdasarkan pasal 30 Undang-Undang Kejaksaan No 4 tahun 2004 adalah sebagai berikut :

a. Di bidang Pidana, kejaksaan memiliki tugas dan wewenang untuk melakukan penuntutan di mana Jaksa bisa melakukan pratuntutan memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan di mulainya penyidikan dari penyidik. Melakukan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum dengan memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu, serta melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat di lakukan pemeriksaan tambahan sebelum di limpahkan kepada pengadilan.

b. Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan memiliki kekuasaan khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara.

c. Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan bertugas untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat, pengamanan kebijakan penegakan hukum,pengawasan peredaran barang cetakan, mengawasi adanya aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat, serta penelitian dan pengembangan hukum serta statistik hukum.

Selain tugas dan wewenang di atas yang mengatur secara umum, Jaksa juga memiliki tugas dan wewenang khusus menetapkan kebijakan penegakan hukum dan keadilan, mengepektifkan proses penegakan hukum yang di berikan Undang-Undang, mengesampingkan perkara demi kepentingan umum, mengajukan kasasi demi kepentingan umum kepada Mahkamah agung, serta mencegah atau menangkap orang tertentu untuk masuk dan keluar wilayah negara Republik Indonesia. Mengenai fungsi keJaksaaan menurut Ilham Gunawan menyatakan bahwa ”Kejaksaan memiliki fungsi ganda di samping sebagai aparat penegak hukum,juga menempati posisi dalam pengaruk kekuasaan eksukutif”.[14] Pendapat ini menggambarkan, bahwa kejaksaan memiliki tempat kekuasaan yang luas dalam ranah hukum negara Indonesia, karena kejaksaan merupakan suatu bagian sarana untuk memproses hukum yang tidak dapat di pisahkan baik yang sifatnya interen maupun eksteren. Oleh karena itu, peran jaksa sangat vital sebagai pelaksana pemerintahan khususnya dalam lapangan penegakkan hukum demi tegaknya keadilan dan kebenaran untuk kepentingan umum.



[1] Osman Simanjuntak, Loc.Cit

[2] Mangasa Sidabutar, Hak Terdakwa,Penuntut Umum Menempuh Upaya Hukum, Raja Grafindo, Jakarta, 1999, hal.1

[3] Osman Simanjuntak, Op.Cit., Hal.129

[4] Harun M.Husein, Kasasi Sebagai Upaya Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, Hal. 41

[5]Ibid., Hal. 50 - 62

[6] M.Yahya Harahap, .Pembahasan dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini, Jakarta, 1988, Hal.1195-1196

[7] M.Husein Harun, Op.cit. Hal 156

[8] H.M.A.Kuffal, Penerapan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Dalam Praktik Hukum, UMM Press, Universitas Muhammadiyah, Malang, 2005, Hal 430-431

[9]A.Kamil dan M.Fauzan, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, Kencana Jakarta, 2005, Hal 46

[10] Ibid.

[11] Paulus, Yurisprudensi Dalam Perspektif Pembangunan Hukum Administrasi Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, Hal 72

[12]Djoko Prakoso, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim dalam Proses Hukum Acara Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1987,Hal 210

[13]Wawan Tunggul Alam, Memahami Profesi Hukum, Milinea Populer, Jakarta, 2004, Hal. 51

[14]Ilham Gunawan, Peran Kejaksaan Dalam Penegakan Hukum Dan Stabilitas Politik, Sinar Grafika, Jakarta, 1988, Hal.42

bab 3

BAB III

KEDUDUKAN JAKSA DALAM PENGAJUAN UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI BERDASARKAN HUKUM POSITIF INDONESIA

3.1 Kedudukan Jaksa Dalam Pengajuan Upaya Hukum Peninjauan Kembali Berdasarkan Hukum Positif di Indonesia

Dalam sistem tatacara peradilan di Indonesia suatu kasus yang berakhir dengan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap tidak dapat di buka lagi dalam persidangan, hal ini menandakan adanya kepastian hukum terhadap kasus tersebut. Walaupun hal ini dapat membuat adanya ketidak puasan namun dalam proses persidangan baik yang sifatnya perdata, pidana atau administrasi harus di ambil suatu keputusan yang definitif yang menutup adanya pintu bagi berlangsung terus-menerus terhadap kasus itu.

Hal ini di kecualikan apabila terdapat ketidak adilan karena mempertahankan suatu putusan yang tidak adil bukan merupakan syarat bagi hukum dan juga bukan merupakan tuntutan kepastian hukum. Sarana untuk memperbaiki keputusan yang tidak memiliki keadilan itu harus ada demi tercapainya keadilan yang sebenarnya dalam penegakan hukum agar kembali dalam posisi yang benar. Dalam peradilan Indonesia mengenal adanya suatu upaya hukum luar bisaa dan istemewa sebagai sarana untuk membatalkan putusan hakim yang berkekuatan hukum yang tetap yaitu Peninjauan Kembali.

Dalam Hukum Acara Pidana pasal 1 ayat 12 menyatakan bahwa upaya hukum adalah terdakwa atau Penuntut Umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan Peninjauan Kembali dalam hal serta menurut cara yang di atur dalam Undang-Undang ini. upaya hukum di lakukan untuk mencari kepastian hukum yang mengandung nilai keadilan dan kebenaran dalam hal pemberian keputusan tidak ada penyimpangan terhadap penerapan hukum yang ada.

Upaya hukum yang terdapat dalam Hukum Acara Pidana terbagi atas banding, kasasi dan Peninjauan Kembali. Banding merupakan proses beracara yang di lakukan di Pengadilan Tinggi sedangkan kasasi dan Peninjauan Kembali di lakukan di Mahkamah Agung dengan alasan adanya ketidak puasan terhadap putusan yang di ambil oleh hakim terkecuali terhadap putusan bebas murni.

Mengenai Peninjauan Kembali, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai realisasi dari Indonesia sebagai negara hukum akan memperhatikan sistem upaya hukumnya sebagai bagian dari penegakan hukum yang jujur dan tidak memihak. Oleh karenanya, upaya hukum Peninjauan Kembali sudah lama di terapkan dan sudah mengalami beberapa perkembangan. Hal ini terlihat dari produk hukum yang telah di buat mengenai upaya hukum Peninjauan Kembali sebelum diterbitkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1981 tentang KUHAP adalah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 tentang Peninjauan Kembali putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

Pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 tentang Peninjauan Kembali putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, di nyatakan bahwa permohonan Peninjauan Kembali dapat di ajukan oleh Jaksa Agung, terpidana dan pihak yang berkepentingan. Dengan terbitnya Peraturan Mahkamah Agung ini yang merupakan suatu bentuk peraturan dari Mahkamah Agung ke seluruh jajaran tertentu yang isinya merupakan ketentuan bersifat hukum beracara dalam hal ini adalah beracara dalam proses hukum mengenai peninjuan kembali.

Peranan Jaksa Agung dalam permasalahan Peninjauan Kembali dalam ruang lingkup PERMA Nomor 1 Tahun 1980 ini cukup besar, khususnya masalah adanya novum. Hal ini jelas di tuangkan dalam pasal 15 Peraturan Mahkamah Agung tersebut yang menyatakan ”apabila permohonan peninjauan kemblai mengenai persoalan yang di sebut dalam pasal 9 ayat 1 sub b Mahkamah Agung meminta keterangan dari Jaksa Agung. Pengadilan Tinggi atau Pengadilan Negeri yang bersangkutan.

Mengenai pasal 9 ayat 1 sub b dinyatakan bahwa apabila terdapat suatu keadaan, sehingga menimbulkan persangkaan yang kuat, bahwa apabila keadaan itu di ketahui pada waktu sidang masih berlangsung, putusan yang di jatuhkan akan mengandung pembebasan terpidana dari tuduhan, pelepasan dari tuntutan hukum atas dasar bahwa perbuatan yang di tuduhkan itu tidak dapat di pidana, pernyataan tidak diterimanya tuntutan Jaksa untuk menyerahkan perkara ke persidangan pengadilan atau penetapan ketentuan-ketentuan pidana lain yang lebih ringan.

Dari bunyi pasal tersebut di atas. Jaksa Agung memiliki kewenangan untuk mengajukan Peninjuan Kembali berdasarkan atas alasan yang kuat yaitu adanya novum mengenai suatu perkara yang di proses dalam peradilan. Selain daripada itu dalam Undang-Undang no 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam pasal 23 telah di tentukan tentang prinsip Peninjauan Kembali yang penerapannya di laksanakan oleh Hukum Acara Pidana berdasar atas ketentuan syarat-syarat mengenai Peninjauan Kembali maka prinsip yang ada dalam Undang-Undang itu tidak dapat di lakasanakan sehingga di hidupkan untuk kebutuhan praktik oleh Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia memiliki pandangan yaitu Pancasila yang telah di rumuskan secara padat dalam rangkaian lima sila. Dengan sengaja, Pancasila di letakkan dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 sebagai landasan ke-filsafat-an yang mendasari ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Dasar itu. Dengan demikian, Pancasila melandasi dan menjiwai kehidupan kenegaraan Indonesia, termasuk dalam kegiatan dan menentukan politik hukumnya.

Tujuan hukum untuk mewujudkan adanya ketertiban, keteraturan, kedamaian dan keadilan yang dapat di rumuskan dalam satu istilah yaitu pengayoman (perlindungan) baik secara pasif maupun aktif. Melindungi secara pasif mencegah adanya kesewenang-wenangan dan pelanggaran hak dan melindungi secara aktif berarti meliputi upaya untuk menciptakan kondisi dan mendorong manusia untuk memanusiakan diri terus menerus melalui peraturan-peraturan hukum yang berlaku sesuai dengan alam pikir Pancasila.

Dan sebagai salah satu penciptaan hukum demi terwujudnya tujuan hukum itu adalah adanya produk hukum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang hukum Acara Pidana yang menimbulkan perubahan mendasar baik secara konsepsional maupun secara implemental terhadap tata cara penyelesaian perkara pidana di Indonesia. Hukum Acara Pidana merupakan peraturan yang mengatur, menyelenggarakan, dan mempertahankan eksistensi ketentuan hukum pidana guna mencari, menemukan dan mendapatkan kebenaran materiil yang sesungguhnya.

Dalam mempelajari atau menetapkan teori dalam Hukum Acara Pidana tidak terlepas dari sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat termasuk perubahan struktur, substansi dan kultur hukumnya. Strukrur hukum menyangkut tentang pembuatan hukum, badan peradilan yang berhubungan dengan pengadaan hukum atau proses hukum yang di jalankan. Sedangkan substansi hukum yang ada di susun oleh buatan manusia dengan norma-norma yang besifat relatif untuk bisa merubah nilai-nilainya yang bertujuan untuk pencapaian kepentingan manusia dalam mencapai kesejahteraan hidup bermasyarakat.

Demi tegaknya suatu penegakan hukum yang ada dalam masyarakat, maka Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana memberikan suatu bentuk upaya dalam rangka untuk penciptaan proses peradilan yang berkeadilan yaitu memberikan hak kepada terpidana untuk melakukan perlawanan terhadap putusan hakim yang berkekuatan hukum yang tetap dengan jalan melakukan Peninjauan Kembali.

Peninjauan Kembali bisa di kaitkan dengan filosofi peradilan yaitu memberikan nilai yang adil, yakni keadilan bagi masyarakat. Keadilan adalah terciptanya suatu suasana damai dalam masyarakat. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pasal 263 ayat (1) dapat di tarik unsur-unsur mengenai Peninjauan Kembali yaitu sebagai berikut :

1. Meninjau kembali

2. Putusan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap

3. Tidak merupakan putusan bebas atau putusan lepas

4. Diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya.

Dari unsur-unsur di atas, terlihat bahwa pasal 263 ayat (1) ini memberikan ketentuan yang sangat limitatif sekali. Limitasi yang di tetapkan, secara esensial menyatakan bahwa putusan-putusan yang masih dalam proses upaya hukum bisaa seperti banding atau kasasi tidak di perkenankan menggunakan upaya hukum Peninjauan Kembali ini. Demikian pula dengan keputusan hakim yang berupa putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan tidak dapat menggunakan hak istemewa Peninjauan Kembali ini.

Dalam perkembangan hukumnya, terdapat pemikiran untuk keluar dari jalur rumusan yang telah di tentukan oleh pasal 263 ayat (1) KUHAP khususnya mengenai wacana siapakah yang memiliki hak atau wewenang secara hukum untuk mengajukan Peninjauan Kembali. Hal ini di tandai dengan kasus pengajuan Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum dalam kasus Mochtar Pakpahan.

Kasus Mochtar Pakpahan melahirkan suatu pemikiran ke arah di berikannya hak bagi kejaksaan untuk mengajukan Peninjauan Kembali berdasarkan atas putusan Mahkamah Agung tanggal 29 September Nomor 395 K/Pid/1995. Sehingga terhadap putusan tersebut, Jaksa Penuntut Umum berhak mengajukan Peninjauan Kembali dengan melalui proses peradilan Mahkamah Agung mengeluarkan putusan tanggal 25 Oktober 1996 Nomor 55 PK/Pid/1996 mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali Jaksa Penuntut Umum dan menjatuhkan pidana selama 4 (empat) tahun penjara bagi kasus Mochtar Pakpahan. Dengan adanya kasus ini, menimbulkan pro-kontra yaitu adanya kemungkinan secara yuridis bagi Jaksa untuk mengajukan Peninjauan Kembali terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan pasti.

Berdasarkan putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Oktober 1996 No 55 PK/Pid/1996 alasan Jaksa mengajukan Peninjaun kembali adalah dalam kapasitasnya sebagai pihak yang mewakili negara dan kepentigan umum dan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana belum ada aturan yang tegas mengatur mengenai hak Jaksa untuk mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung serta kejaksaan mengharapkan Mahkamah Agung dapat menerima permohonan itu dengan sesuai arahan TAP MPR Nomor II/MPR/1993 dan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 1994 yang menggariskan pembentukan dan perkembangan hukum melalui yurisprudensi yang merupakan langkah positif bagi Makhmah Agung untuk mengisi kekosongan hukum atau kurang jelasnya Undang-Undang.

Berdasarkan atas Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa "terpidana atau ahli warisnyalah" yang berhak atau mempunyai hak dalam mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali. Akan tetapi ketentuan dalam pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut apabila dihadapkan dengan ketentuan terhadap putusan tanggal 25 Oktober 1996 No 55 PK/Pid/1996 mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali Jaksa Penuntut Umum yang dapat dijadikan sebagai salah satu sumber hukum yaitu Yurisprudiensi maka ada penyimpangan hukum dalam mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali khususnya pihak yang berhak mengajukannya.

Dari uraian yang mengacu pada keputusan Mahkamah Agung tanggal 25 Oktober 1996 No 55 PK/Pid/1996 mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali Jaksa Penuntut Umum tentu dapat menimbulkan adanya dualisme penafsiran hukum terlebih dikaitkan dengan ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Apabila berdasarkan pada KUHAP yang pada substansial merupakan landasan hukum dalam beracara menyangkut pengajuan Peninjauan Kembali maka pasal 263 ayat (1) haruslah dijunjung tinggi dan dijadikan ketentuan yang mutlak terhadap pihak yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali. Akan tetapi hal tersebut sangat tidak berarti jika dihadapkan dengan keputusan Mahkamah Agung dalam kasus Mochtar pakpahan. Namun dengan adanya keputusan Mahkamah Agung terhadap kasus Mochtar Pakpahan maka terhadap ketentuan keputusan tersebut sudah dijadikan sebagai dasar hukum bagi Jaksa dalam mengajukan Peninjauan Kembali. Adapun pertimbangan-pertimbangan adanya keputusan tersebut ialah berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang pada pokoknya sebagai berikut :

a. Dalam menghadapi problema yuridis hukum acara pidana ini dimana tidak diatur secara tegas pada KUHAP maka Mahkamah Agung melalui putusan dalam perkara ini berkeinginan menciptakan hukum acara pidana sendiri, guna menampung kekurangan pengaturan mengenai hak atau wewenang Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan permohonan pemeriksaan Peninjauan Kembali (PK) dalam perkara pidana;

b. Dalam menyelesaikan problema yuridis hukum acara tersebut maka Mahkamah Agung meneliti dan menafsirkan beberapa peraturan Undang-undang sebagai dasar pertimbangan yuridisnya, yaitu :

1. Pasal 244 KUHAP menegaskan putusan bebas yang tegas tidak dapat dimintakan kasasi. Namun melalui penafsiran terhadap Pasal 244 KUHAP telah diciptakan aturan hukum baru berupa putusan bebas murni tidak dapat dimintakan kasasi, putusan bebas tidak murni dapat dimintakan kasasi dan penafsiran ini lalu menjadi yurisprudensi tetap Mahkamah Agung;

2. Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 dimana ketentuan pasal ini ditafsirkan bahwa di dalam perkara pidana, selalu terdapat dua pihak yang berkepentingan yaitu terdakwa dan kejaksaan yang mewakili kepentingan umum (negara). Oleh karena itu pihak yang berkepentingan yang disebut dalam pasal 21 UU 14/1970 tersebut ditafsirkan adalah Kejaksaan yang tentunya juga berhak memohon pemeriksaan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung;

3. Pasal 263 ayat (3) KUHAP menurut penafsiran Majelis Mahkamah Agung RI maka ditujukan kepada Jaksa oleh karena Jaksa Penuntut Umum adalah pihak yang paling berkepentingan agar keputusan hakim dirubah, sehingga putusan yang berisi pernyataan kesalahan terdakwa tapi tidak diikuti pemidanaan dapat dirubah dengan diikuti pemidanaan terhadap terdakwa berdasarkan asas legalitas serta penerapan asas keseimbangan hak asasi antara kepentingan perseorangan (Termohon PK) dengan kepentingan umum, bangsa dan negara dilain pihak disamping perseorangan (terdakwa) juga kepentingan umum yang diwakili kejaksaan tersebut dapat pula juga melakukan Peninjauan Kembali (PK);

4. Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi di Negara Republik Indonesia bertugas untuk membina dan menjaga agar semua hukum dan undang-undang diterapkan secara tepat, adil, karena itu Mahkamah Agung akan mengisi kekosongan dalam Hukum Acara Pidana tentang masalah Peninjauan Kembali putusan kasasi perkara pidana yang ternyata ada hal-hal yang belum diatur oleh KUHAP dengan cara menciptakan hukum acara sendiri (yurisprudensi) demi untuk adanya kepastian hukum;

5. Berdasarkan argumentasi yuridis sebagaimana disebutkan di atas maka Mahkamah Agung berpendirian bahwa secara formal permohonan Kejaksaan untuk Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor: 395 K/Pid/1995 tanggal 29 September 1995 dapat diterima oleh Mahkamah Agung RI sehingga dapat diperiksa kembali.

Dari pertimbangan-pertimbangan Mahkamah Agung yang bertolak dari keputusan Mahkamah Agung tanggal 25 Oktober 1996 No 55 PK/Pid/1996 mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali Jaksa Penuntut Umum maka kedudukan Jaksa juga mempunyai hak untuk mengajukan Peninjauan Kembali setelah proses kasasi di tingkat Mahkamah Agung. Oleh karena itu kedudukan Jaksa yang diperbolehkan untuk mengajukan Peninjauan Kembali dalam kasus pidana pada dasarnya tidak bertentangan dengan ketentuan dalam KUHAP Pasal 263 ayat (1) melainkan ketentuan dalam KUHAP tersebut tidak diatur secara jelas dan pasti.

Disamping itu, yang menjadi kekuatan atau dasar hukum bagi Jaksa dalam mengajukan Peninjauan Kembali ialah terlebih dikarenakan adanya keputusan Mahkamah Agung yang dapat dijadikan sebagai salah satu sumber hukum berupa Yurisprudiensi khususnya mengenai Peninjauan Kembali.

3.2 Akibat Hukum Pengajuan Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Penuntut Umum Terhadap Hak Terdakwa

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dikenal dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981, LN 1981 Nomor 76, mulai berlaku sejak tanggal 31 Desember 1981. KUHAP hadir menggantikan Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) sebagai payung hukum acara di Indonesia. Kitab yang disebut karya agung bangsa Indonesia ini mengatur acara pidana mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, peradilan, acara pemeriksaan, banding di Pengadilan Tinggi, serta kasasi dan Peninjauan Kembali ke MahkamahAgung.

Harus diakui, bahwa kehadiran KUHAP dimaksudkan oleh pembuat undang-undang untuk mengoreksi pengalaman praktek peradilan masa lalu yang tidak sejalan dengan penegakan hak asasi manusia di bawah aturan HIR, sekaligus memberi legalisasi hak asasi kepada tersangka atau terdakwa untuk membela kepentingannya di dalam proses hukum. Tak jarang kita mendengar rintihan pengalaman di masa HIR seperti penangkapan yang berkepanjangan tanpa akhir, penahanan tanpa surat perintah dan tanpa penjelasan kejahatan yang dituduhkan. Demikian juga dengan pemerasan pengakuan oleh pemeriksa (verbalisant).

Di dalam KUHAP tersangka atau terdakwa di bicarakan secara khusus di dalam bab VI yang terdiri dari pasal 50 sampai dengan pasal 68 yang meletakkan landasan prinsip legalitas dengan menempatkan tersangka atau terdakwa dalam setiap pemeriksaan sebagai manusia yang mempunyai hak asasi dan harkat martabat harga diri. Selain itu dalam Undang-Undang No 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman memberikan beberapa landasan prinsip yang di berikan hukum untuk nelindungi hak dan martabat tersangka atau terdakwa yaitu di antaranya :

a. Peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan

b. Persamaan derajat, dan kedudukan di muka hukum

c. Seseorang yang di hadapkan di muka pengadilan, harus berdasarkan undang-undang yang telah di tentukan.

d. Setiap orang yang di sangka, ,di tangkap, dituntut, atau di hadapkan ke muka persidangan, wajib di anggap tidak bersalah sebelum ada keputusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

e. Tersangka atau terdakewa yang di tangkap, di tahan, dituntut, atau di adili tanpa alasan yang berdasarkan Undang-Undang karene kekeliruan mengenai orang atau penerapan hukumnya berhak untuk menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.

Di dalam KUHAP Bab VI hak dan kedudukan terdakwa dapat di kelompokkan sebagai berikut :

Hak tersangka atau terdakwa segera mendapat pemeriksaan.

1. Berhak segera untuk di periksa oleh penyidik.

a. Berhak segera di ajukan ke sidang pengadilabn

b. Berhak segera di adili dan mendapat putusan pengadian.

2. Hak untuk melakukan pembelaan.

a. Berhak di beritahukan secara jelas tentang apa yang di sangkan padanya.

b. Hak pemberitahuan yang demikian di lakukan pada waktu pemeriksaan mulai di lakukan pada tersangka.

c. Berhak keterangan secara bebas dalam segala tingkat pemeriksaan.

d. Hak untuk mendapat bantuan hukum.

3. Hak terdakwa atau tesangka yang berada dalam penahanan.

a. Hak menghubungi penaasehat hukum sejak di tahan.

b. Hak prioritas penyelesaian perkara.

c. Berhak atas kebebasan rahasia surat.

4. Hak terdakwa memfaatkan upaya hukum.

a. Berhak memanfaatkan upaya hukum bisaa berupa permintaan pemeriksaan tingkat bading kepada Pengadilan Tinggi atau kasasi pada Mahkamah Agung.

b. Berhak memanfaatkan upaya hukum luar bisaa berupa permintaan pemeriksaan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

5. Berhak menuntut ganti rugi dan rehabilitasi. Hak ini diberikan KUHAP kepada tersangka atau terdakwa apabila:

a. Penangkapan, penahanan, penggeledahan atau penyitaan dilakukan tanpa alasan hukum yang sah

b. Apabila keputusan pengadilan menyatakan terdakwa bebas karena tindak pidana yang didakwakan kepadanya bukan merupakan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran.

Dari ketentuan tersebut, maka KUHAP telah mengangkat dan menempatkan tersangka atau terdakwa dalam kedudukan yang berderajat, sebagai makhluk Tuhan yang memiliki harkat derajat kemanusiaan yang utuh. Tersangka atau terdakwa telah ditempatkan KUHAP dalam posisi his entity and dignity as a human being, yang harus diperlakukan sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan.

KUHAP telah menggariskan aturan yang melekatkan integritas harkat harga diri kepada tersangka atau terdakwa, dengan jalan memberi perisai hak-hak yang sah kepada mereka. Pengakuan hukum yang tegas akan hak asasi yang melekat pada diri mereka, merupakan jaminan yang menghindari mereka dari perlakuan sewenang-wenang. Misalnya KUHAP telah memberi hak kepada tersangka atau terdakwa untuk segera mendapat pemeriksaan pada tingkat penyidikan maupun putusan yang seadil-adilnya. Juga memberi hak untuk memperoleh bantuan hukum pemeriksaan pengadilan.

Demikian juga mengenai pembatasan jangka waktu setiap tingkat pemeriksaan mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan dan penangkapan dan penahanan, ditentukan secara limitatif bagi semua instansi dalam setiap tingkat pemeriksaan. Bahkan untuk setiap penangkapan atau penahanan yang dikenakan, wajib diberitahukan kepada keluarga mereka. Dengan demikian tersangka atau terdakwa maupun keluarga mereka, akan mendapat kepastian atas segala bentuk tindakan penegakan hukum. Ini sejalan dengan tujuan KUHAP sebagai sarana pembaruan hukum, yang bermaksud hendak melenyapkan kesengsaraan masa lalu sesuai dengan kehendak masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hukum masyarakat yang sesuai dan selaras dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Apabila berbicara mengenai seorang tersangka atau terdakwa, maka sebelumnya harus dilihat dari sisi hukum yaitu mengenai status tersangka atau terdakwa. Adapun ketentuan mengenai tersangka atau terdakwa dari sudut pandang hukum dikarenakan tersangka atau terdakwa juga mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 D ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum. Dari ketentuan tersebut maka walaupun seseorang telah dinyatakan sebagai terdakwa akan tetapi ia (terdakwa) tetap berhak mendapatkan haknya sebagaimana tertuang dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945.

Mengenai akibat hukum bagi terdakwa terhadap pengajuan Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum maka tentu telah melanggar salah satu hak yang dinyatakan dalam pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yaitu kepastian hukum. Hal ini dikarenakan bahwa mengenai ketentuan siapa yang berhak atau boleh mengajukan Peninjauan Kembali berdasarkan atas KUHAP ialah terdakwa atau ahli warisnya sebagaimana tertuang dalam pasal 263 ayat (1) KUHAP. Sehingga apabila hak terdakwa ini dilaksanakan yaitu hak mengajukan peninjauan kembali dan di terima sedangkan jaksa penuntut umum telah mengajukan peninjauan kembali maka akan menimbulkan peninjauan kembali dibalas dengan peninjauan kembali. Dengan demikian maka ketentuan dalam KUHAP tersebut telah terjadi adanya ketidakpastian hukum dengan diterimanya pengajuan Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dalih adanya yurispudiensi Mahkamah Agung pada kasus Mochtar Pakpahan tanggal 25 Oktober 1996 No 55 PK/Pid/1996.

Sebagai negara hukum berdasarkan atas pasal 1ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara Indonesia ialah negara hukum maka untuk menunjang dari bentuk negara hukum tersebut haruslah menjunjung tinggi nilai-nilai asasi manusia. Adapun salah satu bentuk dari hak asasi tersebut ialah pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. Sehingga dari ketentuan Indonesia sebagai negara hukum maka setiap orang berhak untuk mendapatkan kepastian hukum salah satunya kepastian hukum bagi terdakwa dalam hal Peninjauan Kembali.

Ketentuan berdasarkan atas keputusan Mahkamah Agung tanggal 25 Oktober 1996 No 55 PK/Pid/1996 mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali Jaksa Penuntut Umum telah membuat hak terdakwa dilanggar. Adapun alasan hak terdakwa dilanggar tersebut ialah apabila ketentuan mengenai siapa yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali berdasarkan atas KUHAP Pasal 263 ayat (1) yang secara tegas menyatakan bahwa hanya terdakwa atau ahli warisnyalah yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali. Dengan demikian kepastian hukum terdakwa lah yang telah dilanggar. Sehingga ketentuan terhadap Jaksa Penuntut Umum yang diperbolehkan mengajukan Peninjauan Kembali dapat dianggap secara tidak langsung melanggar hak asasi terdakwa yaitu hak adanya kepastian hukum.

Dari adanya hak terdakwa yang telah dilanggar yaitu hak kepastian hukum maka sudah seharusnya ketentuan mengenai siapa yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali harus ditentukan secara pasti apakah terdakwa atau Jaksa Penuntut Umum yang dapat mengajukannya. Melihat dari keberadaan adanya kepastian hukum yang dinyatakan dalam UUD 1945 Pasal 28 D ayat (1) seharusnya dijadikan sebagai landasan hukum yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun dikarenakan kedudukan daripada UUD 1945 sebagai landasan normatif bagi peraturan dibawahnya. Dari ketentuan tersebut maka yang sejalan atau searah dengan UUD 1945 mengenai kepastian hukum dalam mengajukan Peninjauan Kembali ialah KUHAP terlebih lagi keberadaan daripada KUHAP yang merupakan dasar hukum beracara dalam peradilan pidana.

Berbicara mengenai hak terdakwa dengan kaitannya hak kepastian hukum pada dasarnya memang tidak secara leter lex disebutkan dalam KUHAP. Akan tetapi dengan adanya KUHAP maka pemerintah mempunyai keinginan agar terjaminnya suatu kepastian hukum khususnya dalam beracara di peradilan pidana, sehingga tidak perlu lagi adanya ketentuan hukum selain KUHAP. Namun ketentuan tidak diperlukannya lagi peraturan selain KUHAP tidak berjalan khususnya mengenai Peninjauan Kembali dalam hal ketentuan siapa yang berhak mengajukannya dengan adanya keputusan Mahkamah Agung tanggal 25 Oktober 1996 No 55 PK/Pid/1996 mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali Jaksa Penuntut Umum yang dapat disebut sebagai yurispudiensi.

Yurisprudiensi atau putusan pengadilan merupakan produk hukum yudikatif yang berisi kaedah atau peraturan hukum yang mengikat pihak-pihak yang bersangkutan atau terhukum. Yurispudiensi ini timbul atau ada dikarenakan sifat hukum yang ketinggalan dari peristiwanya ”Het recht hinkt achter de feiten aan”. Akan tetapi keberadaan yurispruiensi di Indonesia berbeda dengan negara yang menganut sistem Anglo Saxson. Sebagai negara yang menganut sistem Eropah Kontinental, hakim di Indonesia tidak terikat pada putusan pengadilan yang pernah dijatuhkan mengenai perkara yang serupa. Namun hal ini tentu sangat janggal kedengarannya kalau ada dua perkara yang serupa diputus berbeda. Dengan demikian maka keberadaan dari Yurisprudiensi mengenai pengajuan Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum sudah diakui atau sudah menjadi dasar hukum sehingga ketentuan dalam KUHAP Pasal 263 ayat (1) dikesampingkan.

Walaupun keberadaan Yurisprudiensi dalam hal pengajuan Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum diakui dan dijadikan sebagai dasar hukum, namun keberadaan hak terdakwa tidak boleh dikorbankan. Hal ini dikarenakan bahwa terdakwa juga mempunyai hak dasar sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 28 D ayat (1) yaitu kepastian hukum. Maksud dari kepastian hukum tersebut ialah kepastian mengenai siapa yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali yang apabila berdasarkan atas KUHAP ialah terdakwa atau ahli warisnya itu sendiri. Sehingga akibat hukum bagi terdakwa dalam hal ini ialah telah terjadi adanya pelanggaran hak asasi terdakwa berdasarkan atas UUD 1945. Oleh karena itu di perlukan adanya suatu ketentuan yang menjamin kepastian hukum bagi terdakwa khususnya dalam hal proses pengajuan Peninjauan Kembali apakah didasarkan atas pasal 263 ayat (1) KUHAP atau berdasarkan atas Yurisprudiensi yang dinyatakan dalam Keputusan Mahkamah Agung tanggal 25 Oktober 1996 No 55 PK/Pid/1996

bab 4

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil dari pembahasan dalam skrispi ini, maka dapat ditarik disimpulkan sebagai berikut:

1. Kedudukan hukum Jaksa dalam mengajukan Peninjauan Kembali dari pertimbangan-pertimbangan Mahkamah Agung yang bertolak dari keputusan Mahkamah Agung tanggal 25 Oktober 1996 No 55 PK/Pid/1996 mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali Jaksa Penuntut Umum maka kedudukan Jaksa juga mempunyai hak untuk mengajukan Peninjauan Kembali setelah proses kasasi di tingkat Mahkamah Agung. Oleh karena itu kedudukan Jaksa yang diperbolehkan untuk mengajukan Peninjauan Kembali dalam kasus pidana pada dasarnya tidak bertentangan dengan ketentuan dalam KUHAP Pasal 263 ayat (1) melainkan ketentuan dalam KUHAP tersebut tidak diatur secara jelas dan pasti. Disamping itu, yang menjadi kekuatan atau dasar hukum bagi Jaksa dalam mengajukan Peninjauan Kembali ialah terlebih dikarenakan adanya keputusan Mahkamah Agung yang dapat dijadikan sebagai salah satu sumber hukum berupa Yurisprudiensi khususnya mengenai Peninjauan Kembali.

2. Akibat hukum bagi terdakwa dalam Pengajuan Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum ialah hak dasar terdakwa telah dilanggar. Adapun hak dasar tersebut sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 28 D ayat (1) yaitu kepastian hukum. Maksud dari kepastian hukum tersebut ialah kepastian mengenai siapa yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali yang apabila berdasarkan atas KUHAP Pasal 263 ayat (1) ialah terdakwa atau ahli warisnya itu sendiri. Sehingga akibat hukum bagi terdakwa dalam hal ini ialah telah terjadi adanya pelanggaran hak asasi terdakwa berdasarkan atas UUD 1945 walaupun keberadaan yurispudiensi Keputusan Mahkamah Agung tanggal 25 Oktober 1996 No 55 PK/Pid/1996 dalam hal pengajuan Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum diakui dan dijadikan sebagai dasar hukum, namun keberadaan hak terdakwa tidak boleh dikorbankan.

4.2 Saran-saran

Dari kesimpulan diatas, maka penulis akan memberikan beberapa saran sebagai berikut:

1. Kepada pemerintah agar kedudukan Jaksa Penuntut Umum dalam mengajukan Peninjauan Kembali untuk dipertegas dalam suatu ketentuan yang mempunyai kedudukan yang kuat yaitu adanya aturan yang tegas bagi jaksa untuk dapat mengajukan Peninjuan Kembali dalam pelaksanaannya serta di perjelas dengan secara letter lex mengenai putusan bebas agar tidak di ajukan Peninjauan Kembali. Sehingga dengan adanya ketentuan tersebut maka ketentuan dalam KUHAP harus segera di rubah atau disesuaikan dengan ketentuan yang ada pada Yurisprudiensi Keputusan Mahkamah Agung tanggal 25 Oktober 1996 No 55 PK/Pid/1996

2. Kepada Pemerintah agar ditentukan suatu jaminan kepastian hukum terhadap terdakwa khususnya mengenai pengajuan Peninjauan Kembali apakah didasarkan atas pasal 263 ayat (1) KUHAP atau berdasarkan atas Yurisprudiensi yang dinyatakan dalam Keputusan Mahkamah Agung tanggal 25 Oktober 1996 No 55 PK/Pid/1996.

daftar pustaka

DAFTAR PUSTAKA

A.Kamil dan M.Fauzan, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, Kencana Jakarta, 2005

Al Wisnubruto dan G. Widiartana, Pembaharuan Hukum Acara Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005

Djoko Prakoso, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim dalam Proses Hukum Acara Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1987

H.M.A.Kuffal, Penerapan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Dalam Praktik Hukum, UMM Press, Universitas Muhammadiyah, Malang, 2005

Harun .M. Husein, Kasasi Sebagai Upaya Hukum, Sinar Grafika, Jakarta

Ilham Gunawan, Peran Kejaksaan Dalam Penegakan Hukum Dan Stabilitas Politik, Sinar Grafika, Jakarta, 1988

M.Yahya Harahap, Pembahasan dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini, Jakarta, 1988

Mangasa Sidabutar, Hak Terdakwa, Penuntut Umum Menempuh Upaya Hukum, Raja Grafindo, Jakarta, 1999

Osman Simanjuntak, Tehnik Penuntutan dan Upaya Hukum, PT Gramedia Widyasarana Indonesia, Jakarta, 1995

Paulus, Yurisprudensi Dalam Perspektif Pembangunan Hukum Administrasi Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 1995

Soedirjo, Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana (arti dan Makna), CV Akademika Pressindo, Jakarta, 1985

Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004

Wawan Tunggul Alam, Memahami Profesi Hukum, Milinea Populer, Jakarta, 2004